Miris. Ya, itu kondisi yang terlintas di benak saya jika berita tentang “Penerima BLT Harus Bukan Perokok” itu terbukti, tag line berita yang saya baca di situs Harian Kompas. Artikel ini berbicara mengenai usulan untuk mengalokaskan dana BLT kepada masyarakat miskin yang bukan perokok. Karena ternyata dana BLT yang dikucurkan selama ini digunakan untuk membeli rokok oleh masyarakat miskin karena kebutuhan akan rokok yang cukup tinggi. Sementara dilain pihak BLT jika kondisinya seperti itu maka tujuannya tidak akan tepat sasaran, Hal ini dikatakan oleh Pengurus Harian Yayasan Lembaga Kosumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi di Jakarta, Senin (29/6).
Walaupun bukan merupakan kebijakan baru, tapi jika ini berhasil menjadi keputusan baru pemerintah maka celakalah masyarakat miskin di Indonesia. Tebakan saya mungkin hampir setengah atau bahkan lebih total masyarakat miskin tidak akan mendapatkan BLT. Ya, karena kebanyakan potret dari masyarakat miskin kita adalah perokok. Lihat saja para montir, tukang batu, tukang kayu yang pernah anda temui, pasti kebanyakan dari mereka adalah perokok kan? Realita masyarakat miskin dan aktivitas merokok adalah hal yang berikatan erat. Saat ini rokok menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat miskin. Batang candu yang tiap harinya diisap oleh jutaan orang di indonesia ini seolah-olah sudah menjadi kebutuhan primer, mengalahkan kebutuhan akan makanan yang sehat dan bergizi, pendidikan, kebersihan, serta kebutuhan-kebutuhan lainnya yang dianggap tidak berguna.
Fakta-fakta tentang rokok dan masyarakat miskin yang ditemukan adalah :
- Sekitar 50 persen dana BLT digunakan masyarakat untuk membeli rokok. Fakta bahwa benda yang tidak bermanfaat dan memberikan efek negatif malah menjadi prioritas tertinggi di masyarakat miskin.
- Dua pertiga rumah tangga miskin di Indonesia adalah perokok aktif,
- Konsumsi tembakau rumah tangga miskin di perkotaan, jumlahnya jauh lebih besar 20 persen dibandingkan dari komsumsi beras.
Dari ilustrasi kondisi terkini yang ada diatas, memang sangatlah menyedihkan, Suatu benda (rokok) yang dari segi kesehatan berdampak negatif masih menjadi “barang favorit” masyarakat bawah. Bagaimana mungkin menghadapi kemungkinan terburuk dampak konsumsi rokok (kanker paru-paru, penyakit jantung, dan lain sebagainya) jika tingkat pendapatan mereka rendah. Tidak kemudian juga membolehkan masyarakat kalangan menengah ke atas merokok, karena bila sakit mereka punya uang untuk berobat. Yang jelas rokok berdampak buruk bagi kalangan apapun (miskin atau kaya). Tetapi pada kenyataannya sulit memisahkan rokok dari masyarakat miskin, tidak semudah yang kita bayangkan. Tetapi paling tidak kita sudah berbuat untuk tidak menambah jumlah para perokok, dengan gerakan sederhana bagi diri sendiri untuk “tidak merokok”.