Oleh: Wastu Adi Mulyono
Menunggu hasil revisi proposal tesis sambil browsing cari-cari software analisis butir soal di bawah payung di kampus Depok. Eh banyak calon mahasiswa yang sedang wawancara ngobrol dan "ngrasani" departemen peminatan yang akan mereka pilih. Ada yang cemas, ada yang mencari alasan dan pembenaran pendapatnya. Saya langsung teringat hasil penelitian Sajidin bahwa rencana untuk berhenti seorang karyawan sudah ada sejak dia mulai bekerja.
Tidak jauh berbeda dengan dengan para karyawan, saya umpamakan calon mahasiswa baru yang sekarang wawancara adalah calon karyawan. Mereka sudah mengajukan aplikasi dan telah melakukan ujian tulis, tinggal wawancara. Ada yang sudah yakin dengan hasil ujian tulis, ada juga yang tidak yakin.
Hal inilah yang menyebabkan komentar mereka berbeda-beda terhadap situasi yang dihadapi sekarang, meskipun situasinya tetap sama yaitu "menunggu...giliran wawancara yang harus dia lakukan". Yang sudah yakin dengan hasil ujian tertulis dengan sombong berkata, "buat apa sih wawancara... toh yang menentukan ujian TPA". Yang tidak yakin juga berkata dengan cemas, "iya ya... buat apa sih wawancara...kalau sudah gak lulus kan sia-sia saja."
Mengamati hal ini saya tersenyum sendiri. Alangkah mahalnya komitmen. Penting sekali komitmen itu. Apapun yang kita hadapi sebenarnya jika kita sudah berkomitmen, tidak akan menjadi beban. Keluarga, biaya, waktu adalah komitmen-komitmen lain yang telah kita buat, dan kita dengan santai menjalaninya karena kita berkomitmen terhadapnya.
Lalu kalau sudah mau menjadi anggota organisasi ini (sekolah), mengapa kita juga meributkan hal kecil yang sudah menjadi bagian dan budaya organisasi tersebut? Mau mengubah? Apa yang telah kita ketahui? kok berani-beraninya ingin mengubah?
Membangun komitmen memang perlu usaha keras dam itu butuh kepercayaan (trust). Siapa percaya pada siapa, itu masalahnya. Ketika salah satu merasa lebih dari yang lain, maka kepercayaan adalah palsu, dan dengan bangga mungkin saya akan berkata bahwa komitmen keduanya adalah lemah.
Kepercayaan itu tidak dapat dipaksakan. Seorang istri yang tidak percaya dengan suaminya, akan selalu mengomel ketika suaminya terlambat pulang meskipun sebenarnya dia sedang dapat kerja lembur untuk menambah keuangan keluarga. Kepercayaan muncul dari dalam...sebuah kesadaran. Kesadaran terhadap posisi kita masing masing.
Kesadaran terhadap posisi ini yang saya yakini merupakan modal komitmen. Kesadaran ini pernah disampaikan oleh tokoh pahlawan nasional kita Ki Hajar Dewantoro. Kesadaran terhadap posisi yang sering disebut sebagai gaya kepemimpinan menurut beliau. Posisi yang dimaksud adalah: ing ngarso sung tuladha (di depan memberi contoh), ing madyo mangung karso (di tengah membangun semangat dan usaha), dan tut wuri handayani (di bawah/belakang mendukung dan memberikan dayanya).
Tiga nilai kesadaran terhadap posisi yang sangat briliant. Selama ini kita sibuk dengan gaya-gaya kepemimpinan versi x,y,z dst. yang kita adopsi dari literatur asing. Kita melupakan bahwa komitmen itu dibangun atas kepercayaan, kepercayaan terhadap bangsa sendiri. Literatur asing tidak mengenali bangsa kita sendiri. Hanya orang kampung sendiri yang tahu seluk-beluk kampungya (begitu pepatah umum yang sering kita dengarkan).
Kembali pada situasi yang sedang saya amati dan calon mahasiswa baru tersebut, saya memberikan sedikit sentilan saja. Berada di posisi manakah kita? Jika di posisi berkuasa (atas) ya mbok sadar, bahwa ruang tunggu wawancara itu tidak nyaman, jadi jangan lama-lama wawancaranya atau dibuat jadual yang tepat. Kalau di posisi lemah (bawah), ya mbok sadar, belum jadi anggota saja sudah banyak protes, terus mau memberikan apa pada organisasi nanti. Sadar lah, jangan ikut-ikutan, karena orang lain omong tidak perlu bukan berarti kita ikut pendapat dia. Berbeda pendapat juga boleh, percaya dirilah... masak mau jadi master kok tidak pe-de.
Jika kita percaya diri, teguh, kuat kita dapat menjadi panutan. Jadi ketika kita berada pada posisi atas, akan jadi panutan yang baik (sung tuladha). Jika sudah jadi contoh yang baik, sudah nilai dasar bangsa kita untuk mencontoh yang baik dan meninggalkan yang buruk. Bawahan kita pasti mencontoh dengan baik. Komitmen tidaklah sulit dibuat. Saya jamin lah.
Saya ingin menutup tulisan saya ini dengan kata-kata motivasional. Saya tidak ingin jadi penyebar jiwa pesimis. Hipnotis terlah terbukti dapat mengubah alam bawah sadar kita, tapi itu sama saja kita akan diperbudak dengan terapi-terapi tersebut. Kita mulai berubah dari hal yang paling dasar. Kesadaran terhadap posisi kita. Kesadaran terhadap "keberadaan" kita sekarang. Selamat berbahagia dengan komitmen-komitmen selanjutnya.