Oleh: Wastu Adi Mulyono, M.Kep.
Memperoleh gelar akademik bukan berarti kita profesional. Seorang profesional harus mengabdikan ilmunya pada masyarakat dan selalu memperbaharui kemampuannya melalui ujian-ujian yang akan terus mengasahnya sesuai dengan perkembangan jaman.
Lulus dalam suatu pendidikan atau suatu bentuk pelatihan/kursus yang berkaitan dengan profesionalitas tidak berarti seseorang selesai dari kewajiban untuk menjalankan ujian. Ujian seringkali menjadi "momok" karena posisi kita berada pada zona tidak nyaman. Seorang teruji selalu diposisikan inferior baik oleh teruji sendiri maupun kadang-kadang oleh penguji. Posisi inferior ini sebenarnya yang telah mengancam ego sehingga seringkali menolak jika akan diuji atau ada kebijakan ujian. Ujian mutlak diperlukan oleh seorang profesional untuk dapat mengukur kemampuannya.
Saya sering mendengar keluhan terhadap berbagai bentuk ujian yang berkaitan dengan kemampuan keperawatan. Berbagai alasan (meskipun belum pernah diteliti) antara lain:
1. Teruji merasa tingkat pendidikannya lebih tinggi dari yang diuji. Aneh memang jika penguji memiliki tingkat pendidikan lebih rendah. Tapi inilah yang sering terjadi pada dunia praktis. Orang yang praktik lebih terampil daripada orang sekolahan.
2. Hasil ujian tidak memberikan pengaruh pada posisi dan peran dalam lingkungan kerja. Alasan ini saya ketika seorang teman mengeluh terhadap ujian kompetensi perawat yang dilakukan di satu propinsi untuk memperoleh SIP. Kondisi ini terjadi ketika praktik tidak memberikan keuntungan ekonomi atau status sosial pada teruji setelah mengikuti ujian. Ujian atau tidak ujian posisi di ruang rawat sama saja. Jenjang karir fungsional yang belum terbentuk membuat campur-aduk peran ini. Seorang teman dari sebuah rumah sakit yang menerapkan jenjang karir fungsional dapat merasakan dampak jenjang karir terhadap ujian.
3. Persepsi teruji terhadap ujian itu sendiri. Beberapa waktu terakhir saya mengikuti suatu ujian profisiensi, untuk menguji kelayakan saya terhadap standar RN yang setara di 23 negara (begitu kata penyelenggara)yang diprakarsai BNSP dan LPRN. Teman-teman yang mengikuti ujian berasal Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Sumatera Utara dan Aceh. Persepsi dan ekpektasi positif mereka telah mendorong untuk mengeluarkan dana ekstra hanya untuk mengikuti ujian ini. Saat mengikuti ujian, semua serius menjalankan, tidak ada contek mencontek, tengok kiri atau kanan seperti yang sering kita jumpai di kelas-kelas. Keseriusan untuk mengukur kelayakan diri sendiri ini lah yang memotivasi mengikuti ujian.
Alasan-alasan tanggapan terhadap ujian baik positif maupun negatif tersebut telah mendorong kita menjalankan atau tidak melakukan ujian. Apapun hasilnya, output yang ada adalah sebuah bentuk gelar, nilai, atau sebutan baru. Gelar atau sebutan tersebut memiliki konsekuensi terhadap peran dan tanggung jawab baru yang disandang. Peran di masyarakat tersebut akan menentukan karya apa yang kita hasilkan. Peran yang akan mewarnai perkembangan keperawatan di Indonesia.
Karya apapun yang kita buat tidak ada artinya jika tidak dikenal dan dimanfaatkan orang lain. Kita boleh saja merendah dengan jurus ikhlas bahwa kita mengabdi bukan untuk dikenal. Betul, kita mengabdi dengan ikhlas, tetapi bukan kita yang perlu dikenal tetapi karya kita yang perlu dikenal. Orang lain dapat mencontoh karya yang baik dan memperbaiki karya yang kurang baik. Tidak ada karya yang tidak baik, oleh karena itu tidak ada alasan untuk menolak untuk berkarya.
Mengenalkan karya dimulai dengan dokumentasi yang baik setiap aktivitas kita. Ilmu manajemen membantu kita dengan fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian. Karya yang terencana, terorganisasi, terarah, dan terkendali sudah pasti terdokumentasi. Karya yang terdokumentasi dengan baik akan mudah terpublikasi. Hal inilah yang akan membuat karya kita lebih bermanfaat.
Pendidikan,kursus, pelatihan, atau ujian sebenarnya hanya sebuah tonggak. Sebuat batu pertanda suatu momentum baru. Momentum yang menandai perubahan-perubahan pada diri kita. Kita perlu memperbanyak momentum perubahan agar hidup profesional kita menjadi dinamis. Hal ini bagaikan mewujudkan mekanisme kontraksi otot dimana kontraksi berikutnya dimulai sebelum kontraksi awal berakhir agar menghasilkan gerak yang optimal. Terlena dengan status baru sering menjadikan kita terlambat memulai hal baru dan berakibat berlu energi ekstra untuk memulai hal baru. Saya mengalaminya ketika harus mulai studi S2 ini setelah 10 tahun terlena oleh kenyamanan bekerja. Sungguh sangat berat mencocokkan konsep dan pola pikir saya sebelumnya dengan pola pikir yang telah berkembang. Sepuluh tahun terlalu lama untuk berdiam diri tanpa dinamika berada pada zona kenyamanan. Kita harus terus mengupdate hal hal baru, baik melalui pendidikan maupun ujian-ujian. Oleh karena itu saya sepakat dengan teman seminat di perawatan luka di CWCC Program yang harus mengikuti ujian ulang setiap 2 tahun.
Gelar baru peran baru dan perilaku baru, saya kira tepat untuk hal ini. Setiap peran menuntut perilaku. Tuntutan standar perilaku ini yang akan mendorong kita mengikuti dengan baik. Sepertinya kita perlu menyusun standar perilaku baru sesuai tuntutan peran kita. Perilaku tersebut adalah, belajar sepanjang hayat, melalui continuing education program apapun bentuknya. Selamat berkarya kembali, jangan lupa dokumentasi dan publikasi, sehingga peran kit memberi manfaat untuk sekitar kita. Kembali kita kembali ke misi awal dilahirkan, "MENJADI RAHMAT SEMESTA ALAM