• home

ASUHAN KEPERAWATAN

  • HOME
  • DOWNLOAD ASUHAN KEPERAWATAN
  • Cara Mendapatkan Password
Tampilkan postingan dengan label Sistem Neurologis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sistem Neurologis. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Agustus 2011

Penyakit Parkinson

di 20.56 Label: Konsep Dasar , Sistem Neurologis
Pengertian

Penyakit Parkinson adalah suatu penyakit degeneratif pada sistem saraf, yang ditandai dengan adanya tremor pada saat beristirahat, kesulitan untuk memulai pergerakan dan kekakuan otot.


Etiologi

Penyakit Parkinson sering dihubungkan dengan kelainan neurotransmitter di otak dan faktor-faktor lainnya seperti :
  1. Defisiensi dopamine dalam substansia nigra di otak memberikan respon gejala penyakit Parkinson
  2. Etiologi yang mendasarinya mungkin berhubungan dengan virus, genetik, toksisitas, atau penyebab lain yang tidak diketahui.

Manifestasi Klinis

Penyakit Parkinson memiliki gejala klinis sebagai berikut :
  1. Bradikinesia (pergerakan lambat), hilang secara spontan
  2. Tremor yang menetap
  3. Tindakan dan pergerakan yang tidak terkontrol
  4. Gangguan saraf otonom (sulit tidur, berkeringat, hipotensi ortostatik
  5. Depresi, demensia
  6. Wajah seperti topeng

Komplikasi

Komplikasi terbanyak dan tersering dari penyakit Parkinson yaitu demensia, aspirasi, dan trauma karena jatuh.


Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan medis dapat dilakukan dengan medikamentosa seperti :
  1. Antikolinergik untuk mengurangi transmisi kolinergik yang berlebihan ketika kekurangan dopamin.
  2. Levodopa, merupakan prekursor dopamine, dikombinasi dengan karbidopa, inhibitor dekarboksilat, untuk membantu pengurangan L-dopa di dalam darah dan memperbaiki otak.
  3. Bromokiptin, agonis dopamine yang mengaktifkan respons dopamine di dalam otak.
  4. Amantidin yang dapat meningkatkan pecahan dopamine di dalam otak.
  5. Menggunakan monoamine oksidase inhibitor seperti deprenil untuk menunda serangan ketidakmampuan dan kebutuhan terapi levodopa.
Read More

Penyakit Parkinson

di 20.56 Label: Konsep Dasar , Sistem Neurologis
Pengertian

Penyakit Parkinson adalah suatu penyakit degeneratif pada sistem saraf, yang ditandai dengan adanya tremor pada saat beristirahat, kesulitan untuk memulai pergerakan dan kekakuan otot.


Etiologi

Penyakit Parkinson sering dihubungkan dengan kelainan neurotransmitter di otak dan faktor-faktor lainnya seperti :
  1. Defisiensi dopamine dalam substansia nigra di otak memberikan respon gejala penyakit Parkinson
  2. Etiologi yang mendasarinya mungkin berhubungan dengan virus, genetik, toksisitas, atau penyebab lain yang tidak diketahui.

Manifestasi Klinis

Penyakit Parkinson memiliki gejala klinis sebagai berikut :
  1. Bradikinesia (pergerakan lambat), hilang secara spontan
  2. Tremor yang menetap
  3. Tindakan dan pergerakan yang tidak terkontrol
  4. Gangguan saraf otonom (sulit tidur, berkeringat, hipotensi ortostatik
  5. Depresi, demensia
  6. Wajah seperti topeng

Komplikasi

Komplikasi terbanyak dan tersering dari penyakit Parkinson yaitu demensia, aspirasi, dan trauma karena jatuh.


Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan medis dapat dilakukan dengan medikamentosa seperti :
  1. Antikolinergik untuk mengurangi transmisi kolinergik yang berlebihan ketika kekurangan dopamin.
  2. Levodopa, merupakan prekursor dopamine, dikombinasi dengan karbidopa, inhibitor dekarboksilat, untuk membantu pengurangan L-dopa di dalam darah dan memperbaiki otak.
  3. Bromokiptin, agonis dopamine yang mengaktifkan respons dopamine di dalam otak.
  4. Amantidin yang dapat meningkatkan pecahan dopamine di dalam otak.
  5. Menggunakan monoamine oksidase inhibitor seperti deprenil untuk menunda serangan ketidakmampuan dan kebutuhan terapi levodopa.
Read More

Minggu, 14 Agustus 2011

Asuhan Keperawatan HNP (Hernia Nukleus Pulposus)

di 23.01 Label: Konsep Dasar , Sistem Neurologis
"ASUHAN KEPERAWATAN HERNIA NUKLEUS PULPOSUS

A.. Konsep Dasar HNP

A.Pengertian

Diskus Intervertebralis adalah lempengan kartilago yang membentuk sebuah bantalan diantara tubuh vertebra. Material yang keras dan fibrosa ini digabungkan dalam satu kapsul. Bantalan seperti bola dibagian tengah diskus disebut nukleus pulposus. HNP merupakan rupturnya nukleus pulposus. (Brunner & Suddarth, 2002)

Hernia Nukleus Pulposus bisa ke korpus vertebra diatas atau bawahnya, bisa juga langsung ke kanalis vertebralis. (Priguna Sidharta, 1990)

B. Patofisiologi

Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan perubahan degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setela trauma *jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat) kartilago dapat cedera.

Pada kebanyakan pasien, gejala trauma segera bersifat khas dan singkat, dan gejala ini disebabkan oleh cedera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan maupun tahun. Kemudian pada degenerasi pada diskus, kapsulnya mendorong ke arah medula spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong terhadap sakus dural atau terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.

Hernia nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus pulposus menekan pada radiks yang bersama-sama dengan arteria radikularis berada dalam bungkusan dura. Hal ini terjadi kalau tempat herniasi di sisi lateral. Bilamana tempat herniasinya ditengah-tengah tidak ada radiks yang terkena. Lagipula,oleh karena pada tingkat L2 dan terus kebawah sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi di garis tengah tidak akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior.

Setelah terjadi hernia nukleus pulposus sisa duktus intervertebralis mengalami lisis sehingga dua korpora vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan.


C. Manifestasi Klinis

Nyeri dapat terjadi pada bagian spinal manapun seperti servikal, torakal (jarang) atau lumbal. Manifestasi klinis bergantung pada lokasi, kecepatan perkembangan (akut atau kronik) dan pengaruh pada struktur disekitarnya. Nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).

D. Pemeriksaan Diagnostik

1. RO Spinal : Memperlihatkan perubahan degeneratif pada tulang belakang

2. M R I : untuk melokalisasi protrusi diskus kecil sekalipun terutama untuk penyakit spinal lumbal.

3. CT Scan dan Mielogram jika gejala klinis dan patologiknya tidak terlihat pada M R I

4. Elektromiografi (EMG) : untuk melokalisasi radiks saraf spinal khusus yang terkena.

E. Penatalaksanaan

1. Pembedahan

Tujuan : Mengurangi tekanan pada radiks saraf untuk mengurangi nyeri dan mengubah defisit neurologik.

Macam :

a. Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus intervertebral

b. Laminektomi : Mengangkat lamina untuk memajankan elemen neural pada kanalis spinalis, memungkinkan ahli bedah untuk menginspeksi kanalis spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat patologi dan menghilangkan kompresi medula dan radiks

c. Laminotomi : Pembagian lamina vertebra.

d. Disektomi dengan peleburan.

2. Immobilisasi

Immobilisasi dengan mengeluarkan kolor servikal, traksi, atau brace.

3. Traksi

Traksi servikal yang disertai dengan penyanggah kepala yang dikaitkan pada katrol dan beban.

4. Meredakan Nyeri

Kompres lembab panas, analgesik, sedatif, relaksan otot, obat anti inflamasi dan jika perlu kortikosteroid.


B. Konsep Dasar Keperawatan

A. Pengkajian

1. Anamnesa

Keluhan utama, riwayat perawatan sekarang, Riwayat kesehatan dahulu, Riwayat kesehatan keluarga

2. Pemeriksaan Fisik

Pengkajian terhadap masalah pasien terdiri dari awitan, lokasi dan penyebaran nyeri, parestesia, keterbatasan gerak dan keterbatasan fungsi leher, bahu dan ekstremitas atas. Pengkajian pada daerah spinal servikal meliputi palpasi yang bertujuan untuk mengkaji tonus otot dan kekakuannya.

3. Pemeriksaan Penunjang


B. Diagnosa Keperawatan yang Muncul

1. Nyeri b.d Kompresi saraf, spasme otot

2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus

3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual

4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis dan tindakan pengobatan.

C. Intervensi

1. Nyeri b.d kompresi saraf, spasme otot

a. Kaji keluhan nyeri, lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus / yang memperberat. Tetapkan skala 0 – 10

b. Pertahankan tirah baring, posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi, posisi telentang

c. Gunakan logroll (papan) selama melakukan perubahan posisi

d. Bantu pemasangan brace / korset

e. Batasi aktifitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan

f. Ajarkan teknik relaksasi

g. Kolaborasi : analgetik, traksi, fisioterapi

2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus

a. Berikan / bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif

b. Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif

c. Berikan perawatan kulit dengan baik, masase titik yang tertekan setelah rehap perubahan posisi. Periksa keadaan kulit dibawah brace dengan periode waktu tertentu.

d. Catat respon emosi / perilaku pada immobilisasi

e. Demonstrasikan penggunaan alat penolong seperti tongkat.

f. Kolaborasi : analgetik

3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual

a. Kaji tingkat ansietas pasien

b. Berikan informasi yang akurat

c. Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan masalah seperti kemungkinan paralisis, pengaruh terhadap fungsi seksual, perubahan peran dan tanggung jawab.

d. Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin menghalangi proses penyembuhannya.

e. Libatkan keluarga

4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis

a. Jelaskan kembali proses penyakit dan prognosis dan pembatasan kegiatan

b. Berikan informasi mengenai mekanika tubuh sendiri untuk berdiri, mengangkat dan menggunakan sepatu penyokong

c. Diskusikan mengenai pengobatan dan efek sampingnya.

d. Anjurkan untuk menggunakan papan / matras yang kuat, bantal kecil yang agak datar dibawah leher, tidur miring dengan lutut difleksikan, hindari posisi telungkup.

e. Hindari pemakaian pemanas dalam waktu yang lama

f. Berikan informasi mengenai tanda-tanda yang perlu diperhatikan seperti nyeri tusuk, kehilangan sensasi / kemampuan untuk berjalan.



DAFTAR PUSTAKA


1. Smeltzer, Suzane C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth edisi 8 Vol 3, Jakarta : EGC, 2002

2. Doengoes, ME, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 2, Jakarta : EGC, 2000.

3. Tucker,Susan Martin,Standar Perawatan Pasien edisi 5, Jakarta : EGC, 1998.

4. Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996.

5. Priguna Sidharta, Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktek, Jakarta : Dian Rakyat, 1996.

6. Chusid, IG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional, Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1993

Read More

Asuhan Keperawatan HNP (Hernia Nukleus Pulposus)

di 23.01 Label: Konsep Dasar , Sistem Neurologis
"ASUHAN KEPERAWATAN HERNIA NUKLEUS PULPOSUS

A.. Konsep Dasar HNP

A.Pengertian

Diskus Intervertebralis adalah lempengan kartilago yang membentuk sebuah bantalan diantara tubuh vertebra. Material yang keras dan fibrosa ini digabungkan dalam satu kapsul. Bantalan seperti bola dibagian tengah diskus disebut nukleus pulposus. HNP merupakan rupturnya nukleus pulposus. (Brunner & Suddarth, 2002)

Hernia Nukleus Pulposus bisa ke korpus vertebra diatas atau bawahnya, bisa juga langsung ke kanalis vertebralis. (Priguna Sidharta, 1990)

B. Patofisiologi

Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan perubahan degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setela trauma *jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat) kartilago dapat cedera.

Pada kebanyakan pasien, gejala trauma segera bersifat khas dan singkat, dan gejala ini disebabkan oleh cedera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan maupun tahun. Kemudian pada degenerasi pada diskus, kapsulnya mendorong ke arah medula spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong terhadap sakus dural atau terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.

Hernia nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus pulposus menekan pada radiks yang bersama-sama dengan arteria radikularis berada dalam bungkusan dura. Hal ini terjadi kalau tempat herniasi di sisi lateral. Bilamana tempat herniasinya ditengah-tengah tidak ada radiks yang terkena. Lagipula,oleh karena pada tingkat L2 dan terus kebawah sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi di garis tengah tidak akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior.

Setelah terjadi hernia nukleus pulposus sisa duktus intervertebralis mengalami lisis sehingga dua korpora vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan.


C. Manifestasi Klinis

Nyeri dapat terjadi pada bagian spinal manapun seperti servikal, torakal (jarang) atau lumbal. Manifestasi klinis bergantung pada lokasi, kecepatan perkembangan (akut atau kronik) dan pengaruh pada struktur disekitarnya. Nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).

D. Pemeriksaan Diagnostik

1. RO Spinal : Memperlihatkan perubahan degeneratif pada tulang belakang

2. M R I : untuk melokalisasi protrusi diskus kecil sekalipun terutama untuk penyakit spinal lumbal.

3. CT Scan dan Mielogram jika gejala klinis dan patologiknya tidak terlihat pada M R I

4. Elektromiografi (EMG) : untuk melokalisasi radiks saraf spinal khusus yang terkena.

E. Penatalaksanaan

1. Pembedahan

Tujuan : Mengurangi tekanan pada radiks saraf untuk mengurangi nyeri dan mengubah defisit neurologik.

Macam :

a. Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus intervertebral

b. Laminektomi : Mengangkat lamina untuk memajankan elemen neural pada kanalis spinalis, memungkinkan ahli bedah untuk menginspeksi kanalis spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat patologi dan menghilangkan kompresi medula dan radiks

c. Laminotomi : Pembagian lamina vertebra.

d. Disektomi dengan peleburan.

2. Immobilisasi

Immobilisasi dengan mengeluarkan kolor servikal, traksi, atau brace.

3. Traksi

Traksi servikal yang disertai dengan penyanggah kepala yang dikaitkan pada katrol dan beban.

4. Meredakan Nyeri

Kompres lembab panas, analgesik, sedatif, relaksan otot, obat anti inflamasi dan jika perlu kortikosteroid.


B. Konsep Dasar Keperawatan

A. Pengkajian

1. Anamnesa

Keluhan utama, riwayat perawatan sekarang, Riwayat kesehatan dahulu, Riwayat kesehatan keluarga

2. Pemeriksaan Fisik

Pengkajian terhadap masalah pasien terdiri dari awitan, lokasi dan penyebaran nyeri, parestesia, keterbatasan gerak dan keterbatasan fungsi leher, bahu dan ekstremitas atas. Pengkajian pada daerah spinal servikal meliputi palpasi yang bertujuan untuk mengkaji tonus otot dan kekakuannya.

3. Pemeriksaan Penunjang


B. Diagnosa Keperawatan yang Muncul

1. Nyeri b.d Kompresi saraf, spasme otot

2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus

3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual

4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis dan tindakan pengobatan.

C. Intervensi

1. Nyeri b.d kompresi saraf, spasme otot

a. Kaji keluhan nyeri, lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus / yang memperberat. Tetapkan skala 0 – 10

b. Pertahankan tirah baring, posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi, posisi telentang

c. Gunakan logroll (papan) selama melakukan perubahan posisi

d. Bantu pemasangan brace / korset

e. Batasi aktifitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan

f. Ajarkan teknik relaksasi

g. Kolaborasi : analgetik, traksi, fisioterapi

2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus

a. Berikan / bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif

b. Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif

c. Berikan perawatan kulit dengan baik, masase titik yang tertekan setelah rehap perubahan posisi. Periksa keadaan kulit dibawah brace dengan periode waktu tertentu.

d. Catat respon emosi / perilaku pada immobilisasi

e. Demonstrasikan penggunaan alat penolong seperti tongkat.

f. Kolaborasi : analgetik

3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual

a. Kaji tingkat ansietas pasien

b. Berikan informasi yang akurat

c. Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan masalah seperti kemungkinan paralisis, pengaruh terhadap fungsi seksual, perubahan peran dan tanggung jawab.

d. Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin menghalangi proses penyembuhannya.

e. Libatkan keluarga

4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis

a. Jelaskan kembali proses penyakit dan prognosis dan pembatasan kegiatan

b. Berikan informasi mengenai mekanika tubuh sendiri untuk berdiri, mengangkat dan menggunakan sepatu penyokong

c. Diskusikan mengenai pengobatan dan efek sampingnya.

d. Anjurkan untuk menggunakan papan / matras yang kuat, bantal kecil yang agak datar dibawah leher, tidur miring dengan lutut difleksikan, hindari posisi telungkup.

e. Hindari pemakaian pemanas dalam waktu yang lama

f. Berikan informasi mengenai tanda-tanda yang perlu diperhatikan seperti nyeri tusuk, kehilangan sensasi / kemampuan untuk berjalan.



DAFTAR PUSTAKA


1. Smeltzer, Suzane C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth edisi 8 Vol 3, Jakarta : EGC, 2002

2. Doengoes, ME, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 2, Jakarta : EGC, 2000.

3. Tucker,Susan Martin,Standar Perawatan Pasien edisi 5, Jakarta : EGC, 1998.

4. Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996.

5. Priguna Sidharta, Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktek, Jakarta : Dian Rakyat, 1996.

6. Chusid, IG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional, Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1993

Read More

Jumat, 12 Agustus 2011

Gangguan Miksi

di 12.08 Label: Konsep Dasar , Sistem Neurologis
Gangguan Miksi: "MANIFESTASI NEUROLOGIS GANGGUAN MIKSI


I. PENDAHULUAN
Fungsi kandung kencing normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara sistim saraf otonomi dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks fungsi destrusor dan sfingter meluas dari lobus frontalis kemedula spinalis bagian sakral, sehingga penyebab neurogenik dari gangguan kandung kencing dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai derajat.

II. ANATOMI DAN FISIOLOGI
A. Struktur otot detrusor dan sfingter
Susunan sebagian besar otot polos kandung kencing sedemikian rupa sehingga bila berkontraksi akan menyebabkan pengosongan kandung kencing. Pengaturan serabut detrusor pada daerah leher kandung kencing berbeda pada kedua jenis kelamin, pria mempunyai distribusi yang sirkuler dan serabut-serabut tersebut membentuk suatu sfingter leher kandung kencing yang efektif untuk mencegah terjadinya ejakulasi retrograd sfingter interna yang ekivalen.
Sfingter uretra (rhabdosfingter) terdiri dari serabut otot luruk berbentuk sirkuler. Pada pria, rhabdosfingter terletak tepat di distal dari prostat sementara pada wanita mengelilingi hampir seluruh uretra. Rhabdosfingter secara anatomis berbeda dari otot-otot yang membentuk dasar pelvis. Pemeriksaann EMG otot ini menunjukkan suatu discharge tonik konstan yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter pada awal proses miksi

B. Persarafan dari kandung kencing dan sfingter
1. Persarafan parasimpatis (N.pelvikus)
Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari neuron preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Neuron preganglionik keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal anterior dan mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus parasimpatis pelvis. Ini merupakan suatu jaringanhalus yang menutupi kandung kencing dan rektum. Serabut postganglionik pendek berjalan dari pleksus untuk menginervasi organorgan pelvis. Tak terdapat perbedaan khusus postjunctional antara serabut postganglionik danotot polos dari detrusor. Sebaliknya, serabut postganglionik mempunyai jaringan difus sepanjang serabutnya yang mengandung vesikel dimana asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada beberapa spesies transmiter nonkolinergik nonadrenergik juga ditemukan, keberadaannya pada manusia diragukan

2. Persarafan simpatis (N.hipogastrik dan rantai simpatis sakral)
Kandung kencing menerima inervasi simpatis dari rantai simpatis torakolumbal melalui a hipogastrik. Leher kandung kencing menerima persarafan yang banyak dari sistem saraf simpatis dan pada kucing dapat dilihat pengaturan parasimpatis oleh simpatis, sedangkan peran sistim simpatis pada proses miksi manusia tidak jelas. Simpatektomi lumbal saja tidak berpengaruh pada kontinens atau miksi meskipun pada umumnya akan menimbulkan ejakulasi retrograd. Leher kandung kencing pria banyak mengandung mervasi noradrenergik dan aktivitas simpatis selama ejakulasi menyebabkan penutupan dari leher kandung kencing untuk mencegah ejakulasi retrograde





3. Persarafan somantik (N.pudendus)
Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari traktus urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis pada S2, S3, dan S4. Nukleus ini yang umumnya dikenal sebagai nukleus Onuf, mengandung badan sel dari motor neuron yang menginnervasi baik sfingter anal dan uretra. Nukleus ini mempunyai diameter yang lebih kecil daripada sel kornu anterior lain, tetapi suatu penelitian mengenai sinaps motor neuron ini pada kucing menunjukkan bahwa lebih bersifat skeletomotor dibandingkan persarafan perineal parasimpatis preganglionik. Serabut motorik dari sel-sel ini berjalan dari radiks S2, S3 dan S4 ke dalam N.pudendus dimana ketika melewati pelvis memberi percabangan ke sfingter anal dan cabang perineal ke otot lurik sfingter uretra. Secara elektromiografi, motor unit dari otot lurik sfingter sama dengan serabut lurik otot tapi mempunyai amplitudo yang sedikit lebih rendah.

4. Persarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah
Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir pada pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus. Karena banyak dari serabut ini mengandung substansi P, ATP atau calcitonin gene-related peptide dan pelepasannya dapat mengubah eksitabilitas otot, serabut pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf sensorik motorik daripada sensorik murni. Ketiga pasang saraf perifer (simpatis torakolumbal, parasimpatis sakral dan pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut aferen yang berjalan dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi Bandung kencing tampaknya merupakan hal yang terpenting pada fungsi kandung kencing yang normal. Akson aferen terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak bermyelin dan serabut Abermyelin kecil. Peran aferen hipogastrik tidak jelas tetapi serabut ini mungkin menyampaikan beberapa sensasi dari distensi kandung kencing dan nyeri. Aferen somatik pudendal menyalurkan sensasi dari aliran urine, nyeri dan suhu dari uretra dan memproyeksikan ke daerah yang serupa dalam medula spinalis sakral sebagai aferen kandung kencing. Hal ini menggambarkan kemungkinan dari daerah-daerah penting pada medula spinalis sakral untuk intergrasi viserosomatik. Nathan dan Smith (1951) pada penelitian pasien yang telah mengalami kordotomi anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras asending dari kandung kencing dan uretra berjalan di dalam traktus spiotalamikus. Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis mungkin juga berperan pada transmisi dari informasi aferen.

C. Hubungan dengan susunan saraf pusat
1. Pusat Miksi Pons
Pons merupakan pusat yng mengatur miksi melalui refleks spinal-bulberspinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan bahwa pusat miksi pons merupakan titik pengaturan (switch point) dimana refleks transpinal-bulber diatur sedemikian rupa baikuntuk pengaturan pengisian atau pengosongan kandung kencing. Pusat miksi pons berperansebagai pusat pengaturan yang mengatur refleks spinal dan menerima input dari daerah lain di otak

2. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian anteromedial dari lobus frontal dapat menimbulkan gangguan miksi berupa urgensi, inkontinens, hilangnya sensibilitas kandung kemih atau retensi urine. Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya kandung kencing yang hiperrefleksi.


D. Fisiologi pengaturan fungsi sfingter kandung kencing
1. Pengisian urine
Pada pengisian kandung kencing, distensi yang timbul ditandai dengan adanya aktivitas sensor regang pada dinding kandung kencing. Pada kandung kencing normal, tekanan intravesikal tidak meningkat selama pengisian sebab terdapat inhibisi dari aktivitas detrusor dan active compliance dari kandung kencing. Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor memerlukan jaras yang utuh antara pusat miksi pons dengan medula spinalis bagian sakral. Mekanisme active compliance kandung kencing kurang diketahui namun proses ini juga memerlukan inervasi yang utuh mengingat mekanisme ini hilang pada kerusakan radiks s2-S4. Selain akomodasi kandung kencing, kontinens selama pengisian memerlukan fasilitasi aktifitas otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra lebih tinggi dibandingkan tekanan intravesikal dan urine tidak mengalir keluar

2. Pengaliran urine
Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari distensi kandung kencing yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat sensitif terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi volunter tidak diketahui dengan jelas tetapi diperoleh dari relaksasi oto lurik dari sfingter uretra dan lantai pelvis yang diikuti dengan kontraksi kandung kencing. Inhibisi tonus simpatis pada leher kandung kencing juga ditemukan sehingga tekanan intravesikal diatas/melebihi tekanan intra uretral dan urine akan keluar. Pengosongan kandung kemih yang lengkap tergantung adri refleks yang menghambat aktifitas sfingter dan mempertahankan kontraksi detrusor selama miksi.

III. PATOLOGI GANGGUAN MIKSI
Gangguan kandung kencing dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Tergantung jaras yang terkena, secara garis besar terdapat tiga jenis utama gangguan kandung kemih:

1. Lesi supra pons
Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi dan seluruh aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal bagian medial, ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada umumnya akan berakibat hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus depan, tumor, demyelinisasi periventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus atau kelainan ganglio basalis, dapat menimbulkan kontraksi kandung kemih yang hiperrefleksi. Retensi urine dapat ditemukan secara jarang yaitu bila terdapat kegagalan dalammemulai proses miksi secara volunter

2. Lesi antara pusat miksi pons dansakral medula spinalis
Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian sakral medula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor dan pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin terjadi antara lain adalah:

a. Kandung kencing yang hiperrefleksi
Seperti halnya lesi supra pons, hilangnya mekanisme inhibisi normal akan menimbulkan suatu keadaan kandung kencing yang hiperrefleksi yang akan menyebabkan kenaikan tekanan pada penambahan yang kecil dari volume kandung kencing.


b. Disinergia detrusor-sfingter (DDS)
Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului kontraksi detrusor. Pada keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan otot detrusor secara bersamaan. Kegagalan sfingter untuk berelaksasi akan menghambat miksi sehingga dapat terjadi tekanan intravesikal yang tinggi yang kadang-kadang menyebabkan dilatasi saluran kencing bagian atas. Urine dapat keluar dri kandung kencing hanya bila kontraksi detrusor berlangsung lebih lama dari kontraksi sfingter sehingga aliran urine terputus-putus

c. Kontraksi detrusor yang lemah
Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga pengosongan kandung kencing yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila dikombinasikan dengan disinergia akan menimbulkan peningkatan volume residu paska miksi

d. Peningkatan volume residu paska miksi
Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan kandung kencing yang hiperrefleksi menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan untuk terjadinya kontraksi kandung kencing. Penderita mengeluh mengenai seringnya miksi dalam jumlah yang sedikit.

3. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam kanalis spinalis maupun ekstradural akan menimbulkan gangguan LMN dari fungsi kandung kencing dan hilangnya sensibilitas kandung kencing. Proses pendahuluan miksi secara volunter hilang dan karena mekanisme untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang, kandung kencing menjadi atonik atau hipotonik bila kerusakan denervasinya adalah parsial. Compliance kandung kencing juga hilang karena hal ini merupakan suatu proses aktig yang tergantung pada utuhnya persarafan. Sensibilitas dari peregangan kandung kencing terganggu namun sensasi nyeri masih didapatkan disebabkan informasi aferen yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui n.hipogastrikus ke daerah torakolumbal. Denervasi otot sfingter mengganggu mekanisme penutupan namunjaringan elastik dari leher kandung kencing memungkinkan terjadinya kontinens. Mekanisme untuk mempertahankan kontinens selama kenaikan tekanan intra abdominal yang mendadak hilang, sehingga stress inkontinens sering timbul pada batuk atau bersin.

IV. GEJALA GANGGUAN DISFUNGSI MIKSI
Gejala-gejala disfungsi kandung kencing neurogenik terdiri dari urgensi, frekuensi, retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat menilai lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Pada pria adalah penting untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis seperti hipertrofi prostat atau striktur. Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan med spinalis bagiansakral, DDS dapat menimbulkan berbagai derajat retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih sering timbul.




Retensi dapat juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks niksi seperti pada lesi susunan saraf pusat.Meskipun hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi pada pons juga dapat menimbulkan gejala serupa. Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens danketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow

V. EVALUASI DAN PENATALAKSANAAN
1. Evaluasi
Pendekatan sistematis untuk mengetahui maslah gangguan miksi selama rehabilitasi pasien dengan cedera medula spinalis merupakan hal yang penting karena penatalaksanaan yang baik sejak awal akan mencegah komplikasi urologis dan kerusakan ginjal permanen. Pemeriksaan meliputi penilaian saluran kencing bagian atas, penilaian pengosongan kandung kencing dan deteksi hiperrefleksia detrusor

a. Penilaian saluran kencing bagian atas
Meskipun jarang didapatkan masalah pada saluran kencing bagian atas, gangguan ginjal merupakan hal yang potensial mengancam penderita. Penilaian ditujukan untuk menilai fungsi ginjal dandeteksi hidronefrosis. Pemeriksaan radiologis harus meliputi urografi intravena dan voiding cystourethrogram untuk menilai saluran bagian atas dan menyingkirkan kemungkinan adanya refluks vesikoureteral.

b. Penilaian pengosongan kandung kencing
Penilaian sisa urine dapat dilakukan dengan katerisasi pada saat pertama pemeriksaan meupun dengan menggunakan USG. Residu urine lebih dari 100 ml dikatakanbermakna









c. Deteksi hiperrefleksia detrusor
Pemeriksaan CMG dan EMG dari sfingter uretral eksterna akan membantu menentukan disfungsi neurogenik dan adanya suatu DDS yang signifikan. Kontraksi abnormal dari otot detrusor dapat dideteksi dengan baik dengan menggunakan filling cystometrogram (CMV). Pada orang normal, kandung kencing dapat mengakomodasi pengisian kandung kencing bahkan pada kecepatan pengisian yang tinggi sedangkan pada penderita dengan hiperrefleksia kandung kencing, terjadi peningkatan tekanan yang spontan pada pengisian

d. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis harus meliputi pemeriksaan sensibilitas perianal untuk mengetahui ada tidaknya sacral sparing. Adanya tonus anal, refleks anal dan refleks bulbokavernosus hanya menandakan utuhnya konus danlengkung refleks lokal. Didapatkannya kontraksi volunter sfingter anal menunjukkan uthunya kontrol volunter dan pada kasus kuadriplegia, ini menandakan lesi medula spinalis yang inkomplit. Pada lesi medula spinalis, dalam hari pertama sampai 3 atau 4 minggu berikutnya seluruh refleks dalam pada tingkat di bawah lesi akan hilang. Hal ini biasanya dihubungkan dengan fase syok spinal. Dalam periode ini, kandung kencing bersifat arefleksi dan memerlukan drainase periodik atau kontinu yang cermat dan tes provokatif dengan menggunakan 4 oz air dingin steril suhu 4oC tidak akan menimbulkan aktifitas refleks kandung kencing.
Tes air es dikatakan positif bila pengisian dengan air dingin segera diikuti dengan pengeluaran air kateter dari kandung kencing. Drainase kandung kencing yang adekuat selama fase syok spinal akan dapat mencegah timbulnya distensi yang berlebih dan atoni dari kandung kencing yang arefleksi.

2. Penatalaksanaan
Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi kandung kemih adalah untuk mempertahankan fungsi gunjal dan mengurangi gejala.

a. Penatalaksanaan gangguan pengosongan kandung kemih dapat dilakukan dengan cara
o Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau stimulasi perianal
o Kompresi eksternal dan penekanan abdomen, crede’s manoeuvre
o Clean intermittent self-catheterisation
o Indwelling urethral catheter

b. Penatalaksanaan hiperrefleksia detrusor
o Bladder retraining (bladder drill)
o Pengobatan oral, Propantheline, imipramine, oxybutinin

c. Penatalaksanaa operatif
Tindakan operatif berguna pada penderita usia muda dengan kelainan neurologis kongenital atau cedera medula spinalis.



Bladder training
Adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kencing yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik (UMN atau LMN), dapat dilakukan dengan pemeriksaan refleks-refleks:

1. Refleks otomatik
Refleks melalui saraf parasimpatis S2-3 dansimpatis T12-L1,2, yang bergabung menjadi n.pelvikus. Tes untuk mengetahui refleks ini adalah tes air es (ice water test). Test positif menunjukkan tipe UMN sedangkan bila negatif (arefleksia) berarti tipe LMN.





2. Refleks somatis
Refleks melalui n.pudendalis S2-4. Tesnya berupa tes sfingter ani eksternus dan tes refleks bulbokarvernosus. Jika tes-tes tersebut positif berarti tipe UMN, sedangkan bila negatif berarti LMN atau tipe UMN fase syok spinal

Langkah-langkah Bladder Training:
1. Tentukan dahulu tipe kandung kencing neurogeniknya apakah UMN atau LMN
2. Rangsangan setiap waktu miksi

3. Kateterisasi:
a. Pemasangan indwelling cathether (IDC)=dauer cathether
IDC dapat dipasang dengan sistem kontinu ataupun penutupan berkala (clamping). Dengan pemakaian kateter menetap ini, banyak terjadi infeksi atau sepsis. Karena itu kateterisasi untuk bladder training adalah kateterisasi berkala. Bila dipilh IDC, maka yang dipilih adalah penutupan berkala oleh karena IDC yang kontinu tidal fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot kk


b. Kateterisasi berkala
Keuntungan kateterisasi berkala antara lain:
o Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi yang mengakibatkan aliran darah ke mukosa kandung kencing dipertahankan seoptimal mungkin
o Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan-akan berfungsi normal
o Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis, maka penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis sehingga fedback ke medula spinalis tetap terpelihara
o Teknik yang mudah dan penderita tidak terganggu kegiatan sehariharinya

4. Penatalaksanaan gangguan fungsi miksi pada lesi medula
a. Lesi kauda Ekuina
Penatalaksanaan pada pasien dengan lesi kauda ekuina memerlukan perhatian khusus. Pada umumnya ditemukan kandung kencing yang arefleksi (nonkontraktil) dan miksi dilakukan dengan bantuan manipulasi Crede atau Valsava. Lesi umumnya inkomplit atau tipe campuran dan berpotensi untuk mengalami penyembuhan. Pemeriksaan urodinamik mungkin menunjukkan sfingter uretral eksternal yang utuh danps demikian dengan lesi suprakonus mungkin mengalami kesulitan dalam miksi kecuali bila terdapat tekanan intravesikal yang penuh yang dapat mengakibatkan refluksi vesikoureteral. Pada pasien ini didapatkan kerusakan pada persarafan parasimpatis dengan persarafan simpatis yang utuh atau mengalami reinervasi dimana leher kandung kencing mungkin tidak dapat membuka dengan baik pada waktu miksi.

b. Sindroma Medula Spinalis Sentral
Neurogenic bladder akibat lesi inkomplit seperti lesi medula spinalis sentral dapat Diperbaiki pada lebih dari 50% pasien. Disamping disfungsi neurologis yang berat dalam minggu-minggu pertama, pemulihan fungsi kandung kencing dapat terjadi terutama karena serabut kandung kencing terletak perifer pada medula spinalis. Penatalaksanaan biasanya dgnkateterisasi intermiten danobat-obatan. Keadaan inkontinens dapat ditimbulkan dengan reseksi sfingter transuretral dini. DDS yang menetap, spastisitas yang berat dan hidronefrosis merupakan indikasi untuk tindakan sfingtertomi transuretral setalh mencoba penggunaan penghambat alfa, antikolinergik dan pelemas otot skelet seperti baclofen. Penatalaksanaan neurogenic bladder pada pasien wanita dengan lesi medula spinalis (UMN) adalah sulit, namun penatalaksanaan lesi konus dankauda (LMN) adalah mudah dengan menggunakan manuver Crede/Valsava.




Kateterisasi intermiten dimulai setiap 4 sampai 6 jam dan dengan restriksi cairan sampai 1,5 liter perhari pada umunya memerlukan kateterisasi 3 kali perhari. Pada lesi suprakonus dengan kandung kencing hiperrefleks, untuk mengurangi inkontinens antara kateterisasi, dapat diberikan antikolinergik seperti oxybutinin 1-2 kali 5 mg perhari. Iritabilitas kandung kencing meningkat dengan adanya infeksi sehingga pengobatan infeksi adalah penting. Profilaksis jangka panjang untuk infeksi saluran kencing sangat direkomendasikan. Pasien dilatih untuk mengosongkan kandung kencing dengan menggunakan suprapubic tapping dan manuver Valsava secara periodik. Kegagalan dalam kateterisasi berkala biasanya memerlukan tindakan indwelling cathether jangka panjang. Tindakan bedah saraf seperti blok radis sakral dapat diindikasikan untuk mengubah keadaan reflex (contractile) bladder menjadi keadaan areflexic bladder yang penatalaksanaannya lebih mudah dengan tindakan Crede/Valsava. Implant radix sakral untuk merangsang miksi baru dicoba pada pasien paraplegi dengan contactile bladder.




DAFTAR PUSTAKA
Chancellor MB. Practical neuro-urology, genitourinary complications in neurologic disease. Boston: Butterworth, 1995: 9-21, 99-190, 239-306
Duus P. Topical diagnosis in neurology.3rd ed. New York: George Thieme, 1983:293-305
Fowler CJ. Bladder dysfunction inneurologic disease, In Asbury. Disease of the nervous system, clinical neurobiology. 2nd ed, vol.1, Philadelphia: WB Sounders, 1992:512-526
Fowler CJ. Neurogenic bladder dysfunction and its management, In Greenwood R et al. Neurological rehabilitation. New Tork : Churchil Livingstone, 1993:269-276
Lindsay KW. Neurology and neurosurgery illustrated. 3rd ed. New York: Churcill Livingstone, 1997: 445-446
Marotta JT. Spinal injury, In Rowland LP. Merritt’s texybook of neurology. 9th ed. Philadelphia : Williams & Wilkins, 1995:440-446
Perkash I. Management of neurogenic bladder dysfunction of the bladder and bowel, In Kottke FJ, Krusen’s handbook of physical medicine and rehabilitaion. 4th ed. Philadelphia: WB Sounders, 1990:810-831
Snell RS. Neuroanatomi klinik, Jakarta : EGC, 1996:504-506 Swash M. The conus medullaris and sphincter control, in Critchley E. A Spinal cord disease, basic science, diagnosis and management. London : springer-Verlag, 1997: 403-412"
Read More

Gangguan Miksi

di 12.08 Label: Konsep Dasar , Sistem Neurologis
Gangguan Miksi: "MANIFESTASI NEUROLOGIS GANGGUAN MIKSI


I. PENDAHULUAN
Fungsi kandung kencing normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara sistim saraf otonomi dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks fungsi destrusor dan sfingter meluas dari lobus frontalis kemedula spinalis bagian sakral, sehingga penyebab neurogenik dari gangguan kandung kencing dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai derajat.

II. ANATOMI DAN FISIOLOGI
A. Struktur otot detrusor dan sfingter
Susunan sebagian besar otot polos kandung kencing sedemikian rupa sehingga bila berkontraksi akan menyebabkan pengosongan kandung kencing. Pengaturan serabut detrusor pada daerah leher kandung kencing berbeda pada kedua jenis kelamin, pria mempunyai distribusi yang sirkuler dan serabut-serabut tersebut membentuk suatu sfingter leher kandung kencing yang efektif untuk mencegah terjadinya ejakulasi retrograd sfingter interna yang ekivalen.
Sfingter uretra (rhabdosfingter) terdiri dari serabut otot luruk berbentuk sirkuler. Pada pria, rhabdosfingter terletak tepat di distal dari prostat sementara pada wanita mengelilingi hampir seluruh uretra. Rhabdosfingter secara anatomis berbeda dari otot-otot yang membentuk dasar pelvis. Pemeriksaann EMG otot ini menunjukkan suatu discharge tonik konstan yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter pada awal proses miksi

B. Persarafan dari kandung kencing dan sfingter
1. Persarafan parasimpatis (N.pelvikus)
Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari neuron preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Neuron preganglionik keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal anterior dan mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus parasimpatis pelvis. Ini merupakan suatu jaringanhalus yang menutupi kandung kencing dan rektum. Serabut postganglionik pendek berjalan dari pleksus untuk menginervasi organorgan pelvis. Tak terdapat perbedaan khusus postjunctional antara serabut postganglionik danotot polos dari detrusor. Sebaliknya, serabut postganglionik mempunyai jaringan difus sepanjang serabutnya yang mengandung vesikel dimana asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada beberapa spesies transmiter nonkolinergik nonadrenergik juga ditemukan, keberadaannya pada manusia diragukan

2. Persarafan simpatis (N.hipogastrik dan rantai simpatis sakral)
Kandung kencing menerima inervasi simpatis dari rantai simpatis torakolumbal melalui a hipogastrik. Leher kandung kencing menerima persarafan yang banyak dari sistem saraf simpatis dan pada kucing dapat dilihat pengaturan parasimpatis oleh simpatis, sedangkan peran sistim simpatis pada proses miksi manusia tidak jelas. Simpatektomi lumbal saja tidak berpengaruh pada kontinens atau miksi meskipun pada umumnya akan menimbulkan ejakulasi retrograd. Leher kandung kencing pria banyak mengandung mervasi noradrenergik dan aktivitas simpatis selama ejakulasi menyebabkan penutupan dari leher kandung kencing untuk mencegah ejakulasi retrograde





3. Persarafan somantik (N.pudendus)
Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari traktus urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis pada S2, S3, dan S4. Nukleus ini yang umumnya dikenal sebagai nukleus Onuf, mengandung badan sel dari motor neuron yang menginnervasi baik sfingter anal dan uretra. Nukleus ini mempunyai diameter yang lebih kecil daripada sel kornu anterior lain, tetapi suatu penelitian mengenai sinaps motor neuron ini pada kucing menunjukkan bahwa lebih bersifat skeletomotor dibandingkan persarafan perineal parasimpatis preganglionik. Serabut motorik dari sel-sel ini berjalan dari radiks S2, S3 dan S4 ke dalam N.pudendus dimana ketika melewati pelvis memberi percabangan ke sfingter anal dan cabang perineal ke otot lurik sfingter uretra. Secara elektromiografi, motor unit dari otot lurik sfingter sama dengan serabut lurik otot tapi mempunyai amplitudo yang sedikit lebih rendah.

4. Persarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah
Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir pada pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus. Karena banyak dari serabut ini mengandung substansi P, ATP atau calcitonin gene-related peptide dan pelepasannya dapat mengubah eksitabilitas otot, serabut pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf sensorik motorik daripada sensorik murni. Ketiga pasang saraf perifer (simpatis torakolumbal, parasimpatis sakral dan pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut aferen yang berjalan dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi Bandung kencing tampaknya merupakan hal yang terpenting pada fungsi kandung kencing yang normal. Akson aferen terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak bermyelin dan serabut Abermyelin kecil. Peran aferen hipogastrik tidak jelas tetapi serabut ini mungkin menyampaikan beberapa sensasi dari distensi kandung kencing dan nyeri. Aferen somatik pudendal menyalurkan sensasi dari aliran urine, nyeri dan suhu dari uretra dan memproyeksikan ke daerah yang serupa dalam medula spinalis sakral sebagai aferen kandung kencing. Hal ini menggambarkan kemungkinan dari daerah-daerah penting pada medula spinalis sakral untuk intergrasi viserosomatik. Nathan dan Smith (1951) pada penelitian pasien yang telah mengalami kordotomi anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras asending dari kandung kencing dan uretra berjalan di dalam traktus spiotalamikus. Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis mungkin juga berperan pada transmisi dari informasi aferen.

C. Hubungan dengan susunan saraf pusat
1. Pusat Miksi Pons
Pons merupakan pusat yng mengatur miksi melalui refleks spinal-bulberspinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan bahwa pusat miksi pons merupakan titik pengaturan (switch point) dimana refleks transpinal-bulber diatur sedemikian rupa baikuntuk pengaturan pengisian atau pengosongan kandung kencing. Pusat miksi pons berperansebagai pusat pengaturan yang mengatur refleks spinal dan menerima input dari daerah lain di otak

2. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian anteromedial dari lobus frontal dapat menimbulkan gangguan miksi berupa urgensi, inkontinens, hilangnya sensibilitas kandung kemih atau retensi urine. Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya kandung kencing yang hiperrefleksi.


D. Fisiologi pengaturan fungsi sfingter kandung kencing
1. Pengisian urine
Pada pengisian kandung kencing, distensi yang timbul ditandai dengan adanya aktivitas sensor regang pada dinding kandung kencing. Pada kandung kencing normal, tekanan intravesikal tidak meningkat selama pengisian sebab terdapat inhibisi dari aktivitas detrusor dan active compliance dari kandung kencing. Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor memerlukan jaras yang utuh antara pusat miksi pons dengan medula spinalis bagian sakral. Mekanisme active compliance kandung kencing kurang diketahui namun proses ini juga memerlukan inervasi yang utuh mengingat mekanisme ini hilang pada kerusakan radiks s2-S4. Selain akomodasi kandung kencing, kontinens selama pengisian memerlukan fasilitasi aktifitas otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra lebih tinggi dibandingkan tekanan intravesikal dan urine tidak mengalir keluar

2. Pengaliran urine
Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari distensi kandung kencing yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat sensitif terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi volunter tidak diketahui dengan jelas tetapi diperoleh dari relaksasi oto lurik dari sfingter uretra dan lantai pelvis yang diikuti dengan kontraksi kandung kencing. Inhibisi tonus simpatis pada leher kandung kencing juga ditemukan sehingga tekanan intravesikal diatas/melebihi tekanan intra uretral dan urine akan keluar. Pengosongan kandung kemih yang lengkap tergantung adri refleks yang menghambat aktifitas sfingter dan mempertahankan kontraksi detrusor selama miksi.

III. PATOLOGI GANGGUAN MIKSI
Gangguan kandung kencing dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Tergantung jaras yang terkena, secara garis besar terdapat tiga jenis utama gangguan kandung kemih:

1. Lesi supra pons
Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi dan seluruh aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal bagian medial, ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada umumnya akan berakibat hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus depan, tumor, demyelinisasi periventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus atau kelainan ganglio basalis, dapat menimbulkan kontraksi kandung kemih yang hiperrefleksi. Retensi urine dapat ditemukan secara jarang yaitu bila terdapat kegagalan dalammemulai proses miksi secara volunter

2. Lesi antara pusat miksi pons dansakral medula spinalis
Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian sakral medula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor dan pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin terjadi antara lain adalah:

a. Kandung kencing yang hiperrefleksi
Seperti halnya lesi supra pons, hilangnya mekanisme inhibisi normal akan menimbulkan suatu keadaan kandung kencing yang hiperrefleksi yang akan menyebabkan kenaikan tekanan pada penambahan yang kecil dari volume kandung kencing.


b. Disinergia detrusor-sfingter (DDS)
Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului kontraksi detrusor. Pada keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan otot detrusor secara bersamaan. Kegagalan sfingter untuk berelaksasi akan menghambat miksi sehingga dapat terjadi tekanan intravesikal yang tinggi yang kadang-kadang menyebabkan dilatasi saluran kencing bagian atas. Urine dapat keluar dri kandung kencing hanya bila kontraksi detrusor berlangsung lebih lama dari kontraksi sfingter sehingga aliran urine terputus-putus

c. Kontraksi detrusor yang lemah
Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga pengosongan kandung kencing yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila dikombinasikan dengan disinergia akan menimbulkan peningkatan volume residu paska miksi

d. Peningkatan volume residu paska miksi
Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan kandung kencing yang hiperrefleksi menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan untuk terjadinya kontraksi kandung kencing. Penderita mengeluh mengenai seringnya miksi dalam jumlah yang sedikit.

3. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam kanalis spinalis maupun ekstradural akan menimbulkan gangguan LMN dari fungsi kandung kencing dan hilangnya sensibilitas kandung kencing. Proses pendahuluan miksi secara volunter hilang dan karena mekanisme untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang, kandung kencing menjadi atonik atau hipotonik bila kerusakan denervasinya adalah parsial. Compliance kandung kencing juga hilang karena hal ini merupakan suatu proses aktig yang tergantung pada utuhnya persarafan. Sensibilitas dari peregangan kandung kencing terganggu namun sensasi nyeri masih didapatkan disebabkan informasi aferen yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui n.hipogastrikus ke daerah torakolumbal. Denervasi otot sfingter mengganggu mekanisme penutupan namunjaringan elastik dari leher kandung kencing memungkinkan terjadinya kontinens. Mekanisme untuk mempertahankan kontinens selama kenaikan tekanan intra abdominal yang mendadak hilang, sehingga stress inkontinens sering timbul pada batuk atau bersin.

IV. GEJALA GANGGUAN DISFUNGSI MIKSI
Gejala-gejala disfungsi kandung kencing neurogenik terdiri dari urgensi, frekuensi, retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat menilai lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Pada pria adalah penting untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis seperti hipertrofi prostat atau striktur. Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan med spinalis bagiansakral, DDS dapat menimbulkan berbagai derajat retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih sering timbul.




Retensi dapat juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks niksi seperti pada lesi susunan saraf pusat.Meskipun hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi pada pons juga dapat menimbulkan gejala serupa. Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens danketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow

V. EVALUASI DAN PENATALAKSANAAN
1. Evaluasi
Pendekatan sistematis untuk mengetahui maslah gangguan miksi selama rehabilitasi pasien dengan cedera medula spinalis merupakan hal yang penting karena penatalaksanaan yang baik sejak awal akan mencegah komplikasi urologis dan kerusakan ginjal permanen. Pemeriksaan meliputi penilaian saluran kencing bagian atas, penilaian pengosongan kandung kencing dan deteksi hiperrefleksia detrusor

a. Penilaian saluran kencing bagian atas
Meskipun jarang didapatkan masalah pada saluran kencing bagian atas, gangguan ginjal merupakan hal yang potensial mengancam penderita. Penilaian ditujukan untuk menilai fungsi ginjal dandeteksi hidronefrosis. Pemeriksaan radiologis harus meliputi urografi intravena dan voiding cystourethrogram untuk menilai saluran bagian atas dan menyingkirkan kemungkinan adanya refluks vesikoureteral.

b. Penilaian pengosongan kandung kencing
Penilaian sisa urine dapat dilakukan dengan katerisasi pada saat pertama pemeriksaan meupun dengan menggunakan USG. Residu urine lebih dari 100 ml dikatakanbermakna









c. Deteksi hiperrefleksia detrusor
Pemeriksaan CMG dan EMG dari sfingter uretral eksterna akan membantu menentukan disfungsi neurogenik dan adanya suatu DDS yang signifikan. Kontraksi abnormal dari otot detrusor dapat dideteksi dengan baik dengan menggunakan filling cystometrogram (CMV). Pada orang normal, kandung kencing dapat mengakomodasi pengisian kandung kencing bahkan pada kecepatan pengisian yang tinggi sedangkan pada penderita dengan hiperrefleksia kandung kencing, terjadi peningkatan tekanan yang spontan pada pengisian

d. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis harus meliputi pemeriksaan sensibilitas perianal untuk mengetahui ada tidaknya sacral sparing. Adanya tonus anal, refleks anal dan refleks bulbokavernosus hanya menandakan utuhnya konus danlengkung refleks lokal. Didapatkannya kontraksi volunter sfingter anal menunjukkan uthunya kontrol volunter dan pada kasus kuadriplegia, ini menandakan lesi medula spinalis yang inkomplit. Pada lesi medula spinalis, dalam hari pertama sampai 3 atau 4 minggu berikutnya seluruh refleks dalam pada tingkat di bawah lesi akan hilang. Hal ini biasanya dihubungkan dengan fase syok spinal. Dalam periode ini, kandung kencing bersifat arefleksi dan memerlukan drainase periodik atau kontinu yang cermat dan tes provokatif dengan menggunakan 4 oz air dingin steril suhu 4oC tidak akan menimbulkan aktifitas refleks kandung kencing.
Tes air es dikatakan positif bila pengisian dengan air dingin segera diikuti dengan pengeluaran air kateter dari kandung kencing. Drainase kandung kencing yang adekuat selama fase syok spinal akan dapat mencegah timbulnya distensi yang berlebih dan atoni dari kandung kencing yang arefleksi.

2. Penatalaksanaan
Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi kandung kemih adalah untuk mempertahankan fungsi gunjal dan mengurangi gejala.

a. Penatalaksanaan gangguan pengosongan kandung kemih dapat dilakukan dengan cara
o Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau stimulasi perianal
o Kompresi eksternal dan penekanan abdomen, crede’s manoeuvre
o Clean intermittent self-catheterisation
o Indwelling urethral catheter

b. Penatalaksanaan hiperrefleksia detrusor
o Bladder retraining (bladder drill)
o Pengobatan oral, Propantheline, imipramine, oxybutinin

c. Penatalaksanaa operatif
Tindakan operatif berguna pada penderita usia muda dengan kelainan neurologis kongenital atau cedera medula spinalis.



Bladder training
Adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kencing yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik (UMN atau LMN), dapat dilakukan dengan pemeriksaan refleks-refleks:

1. Refleks otomatik
Refleks melalui saraf parasimpatis S2-3 dansimpatis T12-L1,2, yang bergabung menjadi n.pelvikus. Tes untuk mengetahui refleks ini adalah tes air es (ice water test). Test positif menunjukkan tipe UMN sedangkan bila negatif (arefleksia) berarti tipe LMN.





2. Refleks somatis
Refleks melalui n.pudendalis S2-4. Tesnya berupa tes sfingter ani eksternus dan tes refleks bulbokarvernosus. Jika tes-tes tersebut positif berarti tipe UMN, sedangkan bila negatif berarti LMN atau tipe UMN fase syok spinal

Langkah-langkah Bladder Training:
1. Tentukan dahulu tipe kandung kencing neurogeniknya apakah UMN atau LMN
2. Rangsangan setiap waktu miksi

3. Kateterisasi:
a. Pemasangan indwelling cathether (IDC)=dauer cathether
IDC dapat dipasang dengan sistem kontinu ataupun penutupan berkala (clamping). Dengan pemakaian kateter menetap ini, banyak terjadi infeksi atau sepsis. Karena itu kateterisasi untuk bladder training adalah kateterisasi berkala. Bila dipilh IDC, maka yang dipilih adalah penutupan berkala oleh karena IDC yang kontinu tidal fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot kk


b. Kateterisasi berkala
Keuntungan kateterisasi berkala antara lain:
o Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi yang mengakibatkan aliran darah ke mukosa kandung kencing dipertahankan seoptimal mungkin
o Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan-akan berfungsi normal
o Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis, maka penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis sehingga fedback ke medula spinalis tetap terpelihara
o Teknik yang mudah dan penderita tidak terganggu kegiatan sehariharinya

4. Penatalaksanaan gangguan fungsi miksi pada lesi medula
a. Lesi kauda Ekuina
Penatalaksanaan pada pasien dengan lesi kauda ekuina memerlukan perhatian khusus. Pada umumnya ditemukan kandung kencing yang arefleksi (nonkontraktil) dan miksi dilakukan dengan bantuan manipulasi Crede atau Valsava. Lesi umumnya inkomplit atau tipe campuran dan berpotensi untuk mengalami penyembuhan. Pemeriksaan urodinamik mungkin menunjukkan sfingter uretral eksternal yang utuh danps demikian dengan lesi suprakonus mungkin mengalami kesulitan dalam miksi kecuali bila terdapat tekanan intravesikal yang penuh yang dapat mengakibatkan refluksi vesikoureteral. Pada pasien ini didapatkan kerusakan pada persarafan parasimpatis dengan persarafan simpatis yang utuh atau mengalami reinervasi dimana leher kandung kencing mungkin tidak dapat membuka dengan baik pada waktu miksi.

b. Sindroma Medula Spinalis Sentral
Neurogenic bladder akibat lesi inkomplit seperti lesi medula spinalis sentral dapat Diperbaiki pada lebih dari 50% pasien. Disamping disfungsi neurologis yang berat dalam minggu-minggu pertama, pemulihan fungsi kandung kencing dapat terjadi terutama karena serabut kandung kencing terletak perifer pada medula spinalis. Penatalaksanaan biasanya dgnkateterisasi intermiten danobat-obatan. Keadaan inkontinens dapat ditimbulkan dengan reseksi sfingter transuretral dini. DDS yang menetap, spastisitas yang berat dan hidronefrosis merupakan indikasi untuk tindakan sfingtertomi transuretral setalh mencoba penggunaan penghambat alfa, antikolinergik dan pelemas otot skelet seperti baclofen. Penatalaksanaan neurogenic bladder pada pasien wanita dengan lesi medula spinalis (UMN) adalah sulit, namun penatalaksanaan lesi konus dankauda (LMN) adalah mudah dengan menggunakan manuver Crede/Valsava.




Kateterisasi intermiten dimulai setiap 4 sampai 6 jam dan dengan restriksi cairan sampai 1,5 liter perhari pada umunya memerlukan kateterisasi 3 kali perhari. Pada lesi suprakonus dengan kandung kencing hiperrefleks, untuk mengurangi inkontinens antara kateterisasi, dapat diberikan antikolinergik seperti oxybutinin 1-2 kali 5 mg perhari. Iritabilitas kandung kencing meningkat dengan adanya infeksi sehingga pengobatan infeksi adalah penting. Profilaksis jangka panjang untuk infeksi saluran kencing sangat direkomendasikan. Pasien dilatih untuk mengosongkan kandung kencing dengan menggunakan suprapubic tapping dan manuver Valsava secara periodik. Kegagalan dalam kateterisasi berkala biasanya memerlukan tindakan indwelling cathether jangka panjang. Tindakan bedah saraf seperti blok radis sakral dapat diindikasikan untuk mengubah keadaan reflex (contractile) bladder menjadi keadaan areflexic bladder yang penatalaksanaannya lebih mudah dengan tindakan Crede/Valsava. Implant radix sakral untuk merangsang miksi baru dicoba pada pasien paraplegi dengan contactile bladder.




DAFTAR PUSTAKA
Chancellor MB. Practical neuro-urology, genitourinary complications in neurologic disease. Boston: Butterworth, 1995: 9-21, 99-190, 239-306
Duus P. Topical diagnosis in neurology.3rd ed. New York: George Thieme, 1983:293-305
Fowler CJ. Bladder dysfunction inneurologic disease, In Asbury. Disease of the nervous system, clinical neurobiology. 2nd ed, vol.1, Philadelphia: WB Sounders, 1992:512-526
Fowler CJ. Neurogenic bladder dysfunction and its management, In Greenwood R et al. Neurological rehabilitation. New Tork : Churchil Livingstone, 1993:269-276
Lindsay KW. Neurology and neurosurgery illustrated. 3rd ed. New York: Churcill Livingstone, 1997: 445-446
Marotta JT. Spinal injury, In Rowland LP. Merritt’s texybook of neurology. 9th ed. Philadelphia : Williams & Wilkins, 1995:440-446
Perkash I. Management of neurogenic bladder dysfunction of the bladder and bowel, In Kottke FJ, Krusen’s handbook of physical medicine and rehabilitaion. 4th ed. Philadelphia: WB Sounders, 1990:810-831
Snell RS. Neuroanatomi klinik, Jakarta : EGC, 1996:504-506 Swash M. The conus medullaris and sphincter control, in Critchley E. A Spinal cord disease, basic science, diagnosis and management. London : springer-Verlag, 1997: 403-412"
Read More

Rabu, 27 Juli 2011

ASKEP CEDERA KEPALA

di 20.48 Label: kumpulan askep , Sistem Neurologis
ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA

CIDERA KEPALA
PENGERTIAN
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.

PATOFISIOLOGI
Cidera kepala TIK - oedem
- hematom
Respon biologi Hypoxemia

Kelainan metabolisme
Cidera otak primer Cidera otak sekunder
Kontusio
Laserasi Kerusakan Sel otak 


Gangguan autoregulasi  rangsangan simpatis Stress

Aliran darah keotak   tahanan vaskuler  katekolamin
Sistemik & TD   sekresi asam lambung

O2   ggan metabolisme  tek. Pemb.darah Mual, muntah
Pulmonal

Asam laktat   tek. Hidrostatik Asupan nutrisi kurang

Oedem otak kebocoran cairan kapiler

Ggan perfusi jaringan oedema paru  cardiac out put 
Cerebral
Difusi O2 terhambat Ggan perfusi jaringan

Gangguan pola napas  hipoksemia, hiperkapnea
Cidera otak primer:
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari trauma. Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi.
Cidera otak sekunder:
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
Proses-proses fisiologi yang abnormal:
- Kejang-kejang
- Gangguan saluran nafas
- Tekanan intrakranial meningkat yang dapat disebabkan oleh karena:
• edema fokal atau difusi
• hematoma epidural
• hematoma subdural
• hematoma intraserebral
• over hidrasi
- Sepsis/septik syok
- Anemia
- Shock
Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cidera otak dan sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.

Perdarahan yang sering ditemukan:
• Epidural hematom:
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.
Tanda dan gejala:
penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.

• Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.
• Perdarahan intraserebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
• Perdarahan subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.

Penatalaksanaan:
Konservatif
• Bedrest total
• Pemberian obat-obatan
• Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran.
Read More

Selasa, 26 Juli 2011

Askep Cedera Kepala

di 22.07 Label: kumpulan askep , Sistem Neurologis
Asuhan Keperawatan Cedera Kepala

ASKEP CEDERA KEPALA

A. PENGERTIAN
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi ) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.

B. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.


Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua :

1. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi - decelerasi rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
1. Gegar kepala ringan
2. Memar otak
3. Laserasi
2. Cedera kepala sekunder
1. Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
2. Hipotensi sistemik
3. Hipoksia
4. Hiperkapnea
5. Udema otak
6. Komplikasi pernapasan
7. infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain

C. PERDARAHAN YANG SERING DITEMUKAN
1. Epidural Hematoma
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah / cabang - cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.

Gejala-gejala yang terjadi :
Penurunan tingkat kesadaran, Nyeri kepala, Muntah, Hemiparesis, Dilatasi pupil ipsilateral, Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irreguler, Penurunan nadi, Peningkatan suhu
2. Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam - 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan udem pupil
Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri; kapiler; vena.
Tanda dan gejalanya :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegia kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital
3. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut :

1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.

2. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.

3. Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese.
Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.

4. Pemeriksaan Penujang
• CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
• MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
• Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
• Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
• X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
• BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
• PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
• CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
• ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
• Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial
• Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

Penatalaksanaan
Konservatif:
• Bedrest total
• Pemberian obat-obatan
• Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)

Prioritas Perawatan:
1. Maksimalkan perfusi / fungsi otak
2. Mencegah komplikasi
3. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal
4. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
5. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.
Tujuan:
1. Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap
2. Komplikasi tidak terjadi
3. Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain
4. Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan
5. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga sebagai sumber informasi.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah:
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
2. Tidakefektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak
4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma)
5. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.

C. INTERVENSI

Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
Tujuan :
Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
Kriteria evaluasi :
Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :
• Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.
• Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume.
• Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.
• Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi.
• Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.
• Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.

Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum.
Tujuan :
Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi
Kriteria Evaluasi :
Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.
Rencana tindakan :
• Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube.
• Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.
• Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.
• Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.


Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak
Tujuan :
Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.
Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.
Rencana tindakan :
Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS.
Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran.
Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik.
Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk menentukan refleks batang otak.
Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya abduksi mata.

Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.
Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan.

Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.
Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan.
Dapat mencetuskan respon otomatik penngkatan intrakranial.

Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.
Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan tekanan intrakrania.
Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien.
Dapat menurunkan hipoksia otak.

Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar (kolaborasi).
Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia seperti osmotik diuritik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem otak, steroid (dexametason) untuk menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan tekanan intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak.

Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma )
Tujuan :
Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.
Kriteria hasil :
Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
Rencana Tindakan :
Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.
Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.

Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.

Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman dan bersih.
Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien - keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan.

Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.
Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.

Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien.
Tujuan :
Kecemasan keluarga dapat berkurang
Kriteri evaluasi :
Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan
Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien
Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan meningkat.
Rencana tindakan :
• Bina hubungan saling percaya.
Untuk membina hubungan terpiutik perawat - keluarga.
Dengarkan dengan aktif dan empati, keluarga akan merasa diperhatikan.
• Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan dilakukan pada pasien.
Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidak tahuan.
• Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien.
Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga.
• Berikan dorongan spiritual untuk keluarga.
Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan keimanan dan ketabahan dalam menghadapi krisis.

Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
Tujuan :
Gangguan integritas kulit tidak terjadi
Rencana tindakan :
• Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.
• Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
• Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah yang menonjol.
• Ganti posisi pasien setiap 2 jam
• Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit.
• Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
• Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.
• Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam.
• Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan menggunakan H2O2.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.

Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.

Asikin Z (1991) Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala. Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta.

Harsono (1993) Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press
Read More

Sabtu, 16 Juli 2011

ASUHAN KEPERAWATAN SARAF/ NEUROGI

di 22.36 Label: kumpulan askep , Sistem Neurologis
ASUHAN KEPERAWATAN SARAF/ NEUROGI: "

ASUHAN KEPERAWATAN SARAF/ NEUROGI


  1. Askep Stroke non hemorhagic
  2. Askep stroke hemorhagic
  3. Askep tumor medula spinalis
  4. Askep otak
  5. Askep cefalgia
  6. Askep hnp (hernia nukleus purposus)
  7. Askep low back pain
  8. Askep meningitis
  9. Askep migrain
  10. Askep penurunan kesadaran
  11. Askep sol


"
Read More

ASKEP PD KLIEN DGN INFEKSI OTAK

di 18.40 Label: kumpulan askep , Sistem Neurologis
ASKEP PD KLIEN DGN INFEKSI OTAK: "ASKEP PD KLIEN DGN INFEKSI OTAK

n INFEKSI OTAK
n Jaringan otak Bakteri
n Selaput otak virus
n Medula spinalis Jamur

Meningitis
Encephalitis
Abses otak
n MENINGITIS
n Radang pd meningen
n Disebabkan oleh virus, bakteri dan jamur
n Meningitis : asepsis, sepsis, & tuberkulosa
n M. aseptic
salah satu meningitis virus, disebabkan oleh abses otak, ensefalitis, limfoma, leukemia, atau darah di ruang sub arakhnoid
n M. sepsis
disebabkan oleh meningokokus, stafilokokus atau basilus influensa
n M.tuberkulosa
disebabkan oleh basilus tuberkel
n MENINGITIS BAKTERI
n Paling signifikan. 75 % kasus
n Neiserria meningitis / m. meningokokus
n Streptococcus pneumoniae : pd dws
n Haemophilus influenzae : anak2 & dws muda
n Penularan mll ; droplet & sekret dr hidung & tenggorok
n Insiden tertinggi : bakteri gram negatif
n Patofisiologi
n Infeksi orofaring
n Organisme msuk dlm alirah darah & menyebabkan reaksi radang dlm meningen & di bwh daerah korteks
n Trombus & penurunan alirah darah serebral
n Gg metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis, & hipoperfusi
n Eksudat menyebar sampai dasar otak & medula spinalis
n Manifestasi Klinis
n Sakit kepala & demam
n Perub. Tingkat kesadaran
n Tanda iritasi meningen
n Fotofobia
n Kejang & peningkatan TIK
n Ruam
n Infeksi fulminating
n Tanda iritasi meningen
n Rigiditas nukal : spasme otot2 leher
n Tanda Kernig (+) : ps dibaringkan dgn paha fleksi ke arah abdomen, kaki tdk dpt diekstensikan sempurna
n Tanda Brudzinski : leher ps di fleksikan, dihasilkan fleksi lutut & pinggul; bl dilakukan fleksi pasif pd ekstremitas bwh pd salah satu sisi, gerakan yg sama terlihat pd sisi yg lain
n Infeksi fulminating
n Pd m. meningokokus
n Tanda septikemia : demam tinggi tiba2, lesi purpura menyebar (wajah & ekstremitas), syok,& tanda2 koagulopati intravaskuler diseminata
n Pemeriksaan Diagnostik
n Kultur CSS
n Kultur darah
n CIE (Counterimmunoelectrophoresis) : deteksi antigen bakteri pd cairan tubuh ( CSS & urin)
n Penatalaksanaan
n Antibiotik
n Cairan
n Anti kejang
n Diuretik osmotik
n ABSES OTAK
n Kumpulan unsur2 infeksius dlm otak
n Tjd mll invasi otak langsung dr trauma intrakranial / pembedahan,
n Mll penyebaran infeksi dr daerah lain spt sinus, telinga, gigi
n Mll penyebaran infeksi dr organ lain : abses paru, endokarditis
n Komplikasi beberapa bentuk meningitis
n Manifestasi klinik
n Dr perubahan dinamika intrakranial (edema, pergeseran otak), infeksi, atau lokasi abses
n Sakit kepala, muntah
n Tanda neurologik fokal; kelemahan ekstremitas, penurunan penglihatan (tgt tempat abses)
n Perubahan status mental; letargi, peka, disorientasi
n Pemeriksaan Diagnostik
n Pengkajian neurologik
n CT Scan
n Penatalaksanaan
n Menghilangkan abses; antimikroba, pembedahan/aspirasi
n Menuruknan radang edema otak : kortikosteroid
n Anti konfulsan
n ENCEPHALITIS
n Peradangan otak
n Diagnosisnya dpt ditegakkan mll px. mikroskopis jaringan otak

n Etiologi
n Bakteri
n Cacing
n Jamur
n Virus : terpenting & tersering
n Klasifikasi virus
n Epidemik :
Gol enterovirus : poliomyelitis, virus echo
Gol arbo virus : western equine encephalitis, eastern equine encephalitis
n Sporadik : rabies, herpes simplek, herpes zooster, limfogranuloma, mumps, chorio meningitis
n Pasca infeksi : morbili, varisela, rubella, mononukleosis infeksius, infeksi traktus respiratorius
n Manifestasi Klinis
n Demam
n Sakit kepala
n Pusing
n Muntah
n Nyeri tenggorokan
n Malaise
n Nyeri ekstremitas
n Pucat
n Tergantung distribusi & luas lesi pd neuron
n Gelisah, iritabel, screaming attack, perubahan perilaku, gg kesadaran, kejang
n Tanda neurologis : afasia, hemiparesis, hemiplegi, ataksia & paralysis saraf otak
n Patofisiologi
n Virus masuk mll kulit, sal nafas & sal cerna
n Menyebar dlm sistem limfatik & msk aliran darah
n Infasi ke dlm susunan saraf pusat
n Respon imun & peradangan menyebabkan edema & peningkatan TIK
n Destruksi jaringan saraf, kerusakan pembuluh darah & perivaskular
n Pemeriksaan Diagnostik
n Analisa CSS
n CT Scan
n MRI
n EEG (electro ensefalografi)
n Darah
n Penatalaksanaan
n Anti konfulsan
n Antipiretik
n Kortikosretoid : utk edema otak
n PROSES KEPERAWATAN
n Pengkajian
n Analisa data
n Diagnosa keperawatan
n Perencanaan
n Implementasi
n Evaluasi
n Pengkajian
n Aktifitas / istirahat
Malaise, ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter
n Sirkulasi
Riwayat kardiopatologi, tekanan darah meningkat, takikardi, disritmia
n Eliminasi
Inkontinensia atau retensi
n Makanan / cairan
Kehilangan nafsu makan, kesulitan menelan, anoreksia, muntah, turgor jelek, membran mukosa kering
n Higiene
Ketergantungan keb. perawtan diri
n Neurosensori
Sakit kepala, parestesia, kehilangan sensasi, kejang, gg penglihatan, letargi, afasia, hemiparese/hemiplegi, tanda brudzinski, tanda kernig, rigiditas nukal
n Kenyamanan
Sakit kepala, kaku leher, fotosensitifitas, nyeri tenggorok,
n Pernafasan
Riwayat infeksi sinus /paru, perub. mental & gelisah
n Keamanan
Riwayat infeksi nafas, telinga & gigi, pembedahan, imunisasi, terpajan campak, herpes simpleks,peningkatan suhu, ada ras, kelemahan umum . Gg sensasi
n Diagnosa Keperawatan
n Resiko tinggi infeksi b.d diseminata hematogen dr patogen
n Resiko tinggi Perubahan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral
n Resiko tinggi trauma b.d kelemahan umum
n Gg rasa nyaman : nyeri b.d proses inflamasi
n Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler
n Perubahan persepsi sensori : ….. B.d perubahan resepsi sensori, transmisi / integrasi
n Ansietas b.d krisis situasi
n Kurang pengetahuan b.d kurang pemajanan, kesalahan interpretasi
n Resiko tinggi infeksi b.d diseminata hematogen dr patogen
Intervensi :
n Berikan tindakan isolasi sbg tindakan pencegahan
n Pertahankan teknik aseptik & teknik cuci tangan yg tepat baik ps, pengunjung, maupun staf. Pantau & batasi pengunjung/ staf ss kebutuhan
n Pantau suhu secara teratur. Catat munculnya tanda2 klinis dr proses infeksi
n Teliti adanya keluhan nyeri dada, disritmia, demam yg terus menerus
n Auskultasi suara nafas. Pantau kecepatan & usaha pernafasan
n Ubah posisi ps dgn teratur & anjurkan utk melakukan nafas dlm
n Catat karakteristik urin
n Identifikasi kontak yg beresiko thd perkembangan proses infeksi serebral
n Kelola pemberian terapi antibiotika IV ss indikasi
n Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral
Intervensi :
n Pertahankan tirah baring dgn posisi kepala datar & pantau tanda vital ss indikasi
n Pantau status neurologis dgn teratur & bandingkan dgn keadaan normalnya
n Kaji adanya rigiditas nukal, gemetar, kegelisahan yg meningkat, peka rangsang & adanya kejang
n Pantau tanda vital
n Pantau frekuensi/irama jantung
n Pantau pernafasan, catat pola & irama pernafasan
n Pantau suhu & atur suhu lingkungan ss kebutuhan
n Pantau masukan & haluaran. Catat karakteristik urin, turgor kulit & keadaan membran mukosa
n Bantu ps utk berkemih/ membatasi batuk, muntah, mengejan.
n Berikan tindakan yg menimbulkan rasa nyaman, spt masase punggung, lingkungan yg tenang
n Berikan waktu istirahat antara aktifitas perawatan
n Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajad ss indikasi. Jaga posisi kepala tetap pd posisi netral
n Kelola pemberian vairan IV
n Pantau BGA
n Kelola pemberian medikasi
n Resiko tinggi trauma b.d kelemahan umum
Intervensi :
n Pantau adanya kejang pd tangan, kaki & wajah
n Berikan keamanan pd ps dgn memberi bantalan penghalang tempat tidur
n Pasang jalan nafas buatan
n Pertahankan tirah baring selama fae akut
n Kolaborasi & kelola pemberian anti konvulsan
n Gg rasa nyaman : nyeri b.d prose inflamasi
Intervensi :
n Berikan lingkungan yg tenang
n Tingkatkan tirah baring, bantu kebutuhan perawatan diri
n Kompres dingin kepala & mata
n Dukung ps utk posisi yg nyaman
n Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif scr tepat & masase otot daerah bahu/leher
n Kolaborasi pemberian anlgesik
n Ansietas b.d krisis situasi
Intervensi :
n Kaji status mental & tingkat ansietas dr ps/klg
n Berikan penjelasan
n Hubungan antara proses penyakit & gejalanya
n Jelaskan & persiapkan utk tindakan prosedur sblm dilakukan
n Berikan kesempatan ps utk mengungkapkan isi pikiran & perasaan takutnya
n Libatkan ps/klg dlm perawatan
n Berikan dukungan thd perencanaan gaya hidup ss kemampuan ps
n Berikan petunjuk sumber2 penyokong yg ada, spt klg, konselor profesional
n Lindungi privasi ps
n Kurang pengetahuan b.d kurang pemajanan
Intervensi :
n Berikan informasi yg singkat & sederhana
n Diskusikan mengenai kemungkinan proses penyembuhan yg lama
n Berikan informasi mengenai kebutuhan diet TKTP utk proses penyembuhan
n Instruksikan utk terus latihan rentang gerakscr bertahap
n Diskusikan pentingnya istirahat yg adekuat
n Kaji ulang pengobatan yg diberi & tekankan utk mengkonsultasikan kesehatannya
n Diskusikan pencegahan proses penyakit ss kebutuhan
n Berikan penjelasan ulang mengenai timbulnya tanda & gejala yg membutuhkan penanganan medis segera
n Tekankan pentingnya evaluasi ulang & terapi rawat jalan secara rutin
n Identifikasi sumber2 penyokong yg ada di masyarakat
http://askep-askeb-kita.blogspot.com/
Read More
Postingan Lama Beranda
Lihat versi seluler
Langganan: Postingan ( Atom )
 photo banner300x250-biru.gif

Blog Archive

  • 2016 (1)
    • 09/18 - 09/25 (1)
      • PENGETAHUAN IBU TENTANG BIANG KERINGAT PADA BAYI 0...
  • 2015 (10)
    • 10/11 - 10/18 (1)
    • 09/13 - 09/20 (1)
    • 09/06 - 09/13 (1)
    • 07/05 - 07/12 (1)
    • 05/17 - 05/24 (6)
  • 2014 (1)
    • 04/13 - 04/20 (1)
  • 2012 (770)
    • 02/19 - 02/26 (5)
    • 02/12 - 02/19 (10)
    • 02/05 - 02/12 (4)
    • 01/29 - 02/05 (27)
    • 01/22 - 01/29 (88)
    • 01/15 - 01/22 (101)
    • 01/08 - 01/15 (169)
    • 01/01 - 01/08 (366)
  • 2011 (4477)
    • 12/25 - 01/01 (336)
    • 12/18 - 12/25 (62)
    • 12/11 - 12/18 (70)
    • 12/04 - 12/11 (77)
    • 11/27 - 12/04 (40)
    • 11/20 - 11/27 (67)
    • 11/13 - 11/20 (198)
    • 11/06 - 11/13 (187)
    • 10/30 - 11/06 (340)
    • 10/23 - 10/30 (32)
    • 10/16 - 10/23 (109)
    • 10/09 - 10/16 (80)
    • 08/14 - 08/21 (75)
    • 08/07 - 08/14 (81)
    • 07/31 - 08/07 (82)
    • 07/24 - 07/31 (65)
    • 07/17 - 07/24 (91)
    • 07/10 - 07/17 (47)
    • 07/03 - 07/10 (44)
    • 06/26 - 07/03 (53)
    • 06/19 - 06/26 (59)
    • 06/12 - 06/19 (47)
    • 06/05 - 06/12 (65)
    • 05/29 - 06/05 (63)
    • 05/22 - 05/29 (77)
    • 05/15 - 05/22 (115)
    • 05/08 - 05/15 (65)
    • 05/01 - 05/08 (104)
    • 04/24 - 05/01 (45)
    • 04/17 - 04/24 (70)
    • 04/10 - 04/17 (134)
    • 04/03 - 04/10 (72)
    • 03/27 - 04/03 (18)
    • 03/20 - 03/27 (47)
    • 03/13 - 03/20 (68)
    • 03/06 - 03/13 (40)
    • 02/27 - 03/06 (56)
    • 02/20 - 02/27 (77)
    • 02/13 - 02/20 (76)
    • 02/06 - 02/13 (198)
    • 01/30 - 02/06 (194)
    • 01/23 - 01/30 (132)
    • 01/16 - 01/23 (196)
    • 01/09 - 01/16 (202)
    • 01/02 - 01/09 (121)
  • 2010 (2535)
    • 12/26 - 01/02 (156)
    • 12/19 - 12/26 (65)
    • 12/12 - 12/19 (73)
    • 12/05 - 12/12 (84)
    • 11/28 - 12/05 (80)
    • 11/21 - 11/28 (68)
    • 11/14 - 11/21 (63)
    • 11/07 - 11/14 (50)
    • 10/31 - 11/07 (50)
    • 10/24 - 10/31 (36)
    • 10/17 - 10/24 (58)
    • 10/10 - 10/17 (35)
    • 10/03 - 10/10 (31)
    • 09/26 - 10/03 (21)
    • 09/19 - 09/26 (26)
    • 09/12 - 09/19 (55)
    • 09/05 - 09/12 (65)
    • 08/29 - 09/05 (33)
    • 08/22 - 08/29 (70)
    • 08/15 - 08/22 (45)
    • 08/08 - 08/15 (35)
    • 08/01 - 08/08 (37)
    • 07/25 - 08/01 (27)
    • 07/18 - 07/25 (19)
    • 07/11 - 07/18 (30)
    • 07/04 - 07/11 (56)
    • 06/27 - 07/04 (28)
    • 06/20 - 06/27 (22)
    • 06/13 - 06/20 (30)
    • 06/06 - 06/13 (21)
    • 05/30 - 06/06 (5)
    • 05/16 - 05/23 (6)
    • 05/09 - 05/16 (29)
    • 05/02 - 05/09 (59)
    • 04/25 - 05/02 (28)
    • 04/18 - 04/25 (38)
    • 04/11 - 04/18 (70)
    • 04/04 - 04/11 (59)
    • 03/28 - 04/04 (65)
    • 03/21 - 03/28 (89)
    • 03/14 - 03/21 (218)
    • 03/07 - 03/14 (95)
    • 02/28 - 03/07 (135)
    • 02/21 - 02/28 (102)
    • 01/03 - 01/10 (68)
  • 2009 (1652)
    • 12/27 - 01/03 (36)
    • 12/20 - 12/27 (22)
    • 12/13 - 12/20 (100)
    • 12/06 - 12/13 (45)
    • 11/29 - 12/06 (24)
    • 11/22 - 11/29 (22)
    • 11/15 - 11/22 (19)
    • 11/08 - 11/15 (28)
    • 11/01 - 11/08 (11)
    • 10/25 - 11/01 (17)
    • 10/18 - 10/25 (38)
    • 10/11 - 10/18 (33)
    • 10/04 - 10/11 (15)
    • 09/27 - 10/04 (21)
    • 09/20 - 09/27 (7)
    • 09/13 - 09/20 (84)
    • 09/06 - 09/13 (35)
    • 08/30 - 09/06 (48)
    • 08/23 - 08/30 (118)
    • 08/16 - 08/23 (26)
    • 08/09 - 08/16 (34)
    • 08/02 - 08/09 (35)
    • 07/26 - 08/02 (31)
    • 07/19 - 07/26 (14)
    • 07/12 - 07/19 (16)
    • 07/05 - 07/12 (28)
    • 06/28 - 07/05 (26)
    • 06/21 - 06/28 (76)
    • 06/14 - 06/21 (26)
    • 06/07 - 06/14 (21)
    • 05/31 - 06/07 (43)
    • 05/24 - 05/31 (38)
    • 05/17 - 05/24 (26)
    • 05/10 - 05/17 (52)
    • 05/03 - 05/10 (15)
    • 04/26 - 05/03 (38)
    • 04/19 - 04/26 (32)
    • 04/12 - 04/19 (22)
    • 04/05 - 04/12 (20)
    • 03/29 - 04/05 (40)
    • 03/22 - 03/29 (43)
    • 03/15 - 03/22 (18)
    • 03/08 - 03/15 (14)
    • 03/01 - 03/08 (22)
    • 02/22 - 03/01 (12)
    • 02/15 - 02/22 (9)
    • 02/08 - 02/15 (11)
    • 02/01 - 02/08 (19)
    • 01/25 - 02/01 (37)
    • 01/18 - 01/25 (21)
    • 01/11 - 01/18 (33)
    • 01/04 - 01/11 (31)
  • 2008 (700)
    • 12/28 - 01/04 (13)
    • 12/21 - 12/28 (9)
    • 12/14 - 12/21 (57)
    • 12/07 - 12/14 (5)
    • 11/30 - 12/07 (18)
    • 11/23 - 11/30 (33)
    • 11/16 - 11/23 (31)
    • 11/09 - 11/16 (23)
    • 11/02 - 11/09 (18)
    • 10/26 - 11/02 (11)
    • 10/19 - 10/26 (15)
    • 10/12 - 10/19 (13)
    • 10/05 - 10/12 (25)
    • 09/28 - 10/05 (2)
    • 09/21 - 09/28 (14)
    • 09/14 - 09/21 (19)
    • 09/07 - 09/14 (43)
    • 08/31 - 09/07 (3)
    • 08/24 - 08/31 (33)
    • 08/17 - 08/24 (65)
    • 08/10 - 08/17 (4)
    • 08/03 - 08/10 (26)
    • 07/27 - 08/03 (6)
    • 07/20 - 07/27 (19)
    • 07/13 - 07/20 (18)
    • 07/06 - 07/13 (60)
    • 06/29 - 07/06 (53)
    • 06/22 - 06/29 (49)
    • 06/15 - 06/22 (11)
    • 06/08 - 06/15 (4)

Popular Posts

  • ASKEP NIFAS DENGAN PERDARAHAN POST PARTUM
    ASUHAN KEPERAWATAN IBU NIFAS DENGAN PERDARAHAN POST PARTUM A. PengertianPost partum / puerperium adalah masa dimana tubuh menyesuaikan, baik...
  • Hubungan Usia Terhadap Perdarahan Post Partum Di RSUD
    KTI KEBIDANAN HUBUNGAN USIA TERHADAP PERDARAHAN POSTPARTUM DI RSUD BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan wanita merupakan hal yang s...
  • PATHWAY ASFIKSIA NEONATORUM
    PATHWAY ASFIKSIA NEONATORUM Klik pada gambar untuk melihat pathway Download Pathway Asfiksia Neonatorum Via Ziddu Download Askep Asfiksia N...
  • PATHWAY HEMATEMESIS MELENA
    Pathway Hematemesis Melena Klik pada gambar untuk melihat pathway Download Pathway Hematemesis Melena Via Ziddu
  • PROSES KEPERAWATAN KOMUNITAS
    PROSES KEPERAWATAN KOMUNITAS Pengertian - Proses keperawatan adalah serangkaian perbuatan atau tindakan untuk menetapkan, merencana...
  • Ikterus
    DEFINISI Ikterus ialah suatu gejala yang perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh pada neonatus. Ikterus ialah suatu diskolorasi kuning pa...
  • Metode Kalender atau Pantang Berkala (Calendar Method Or Periodic Abstinence)
    Metode Kalender atau Pantang Berkala (Calendar Method Or Periodic Abstinence) Pendahuluan Metode kalender atau pantang berkala merupakan met...
  • Materi Kesehatan: Taksiran Berat Badan Janin (TBBJ)
     Taksiran Berat Badan Janin (TBBJ) PERBANDINGAN AKURASI TAKSIRAN BERAT BADAN JANIN MENGGUNAKAN RUMUS JOHNSON TOHSACH DENGAN MODIFIKASI RUMUS...
  • Diagnosa Keperawatan Aktual
    Konsep Dasar Diagnosa Keperawatan Aktual BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai suatu aspek yang terpenting dalam proses kepera...
  • PATHWAY COMBUSTIO
    Pathway Combustio Klik Pada Gambar Untuk melihat pathway Download Pathway Combustio Via Ziddu Tag: Pathways combustio , pathways luka baka...

Statistik

© ASUHAN KEPERAWATAN 2013 . Powered by Bootstrap , Blogger templates and RWD Testing Tool Published..Gooyaabi Templates