Sabtu, 12 September 2009
asuhan keperawatan CVA atau stroke
BAB I
KONSEP DASAR
A. Pengertian
CVA atau stroke merupakan salah satu manifestasi neurologi yang umum yang timbul secara mendadak sebagai akibat adanya gangguan suplai darah ke otak (Depkes, 1995).
Stroke merupakan gangguan sirkulasi serebral dan merupakan satu gangguan neurologik pokal yang dapat timbul sekunder dari suatu proses patologik pada pembuluh darah serebral misalnya trombosis, embolus, ruptura dinding pembuluh atau penyakit vaskuler dasar, misalnya arterosklerosis arteritis trauma aneurisma dan kelainan perkembangan (Price, 1995).
B. Etiologi stroke
Penyebab utamanya dari stroke diurutkan dari yag paling penting adalah arterosklerosis (trombosis) embolisme, hipertensi yang menimbulkan pendarahan srebral dan ruptur aneurisme sekular.
Stroke biasanya disertai satu atau beberapa penyakit lain seperti hipertensi, penyakit jantung, peningkatan lemak di dalam darah, DM atau penyakit vasculer perifer (Price, 1995).
Menurut etiologinya stroke dapat dibagi menjadi :
1. Stroke trombotik
Terjadi akibat oklusi aliran darah biasanya karena arterosklerosis berat.
2. Stroke embolik
Berkembang sebagai akibat adanya oklusi oleh suatu embolus yang terbentuk di luar otak. Sumber embolus yang menyebabkan penyakit ini adalah termasuk jantung sebelah infark miokardium atau fibrasi atrium, arteri karotis, komunis atau aorta.
3. Stroke hemoragik
Terjadi apabila pembuluh darah di otak pecah sehingga timbul iskemik dari hipoksia di daerah hilir, penyebab hemoragik antara lain ialah hipertensi, pecahnya aneurisma, malforasi arterio venas / MAV (Corwin, 2001).
Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan stroke antara lain :
1. Hipertensi merupakan faktor resiko utama.
2. Penyakit cardiovaskuler (embolisme serebral, mungkin berasal dari jantung).
3. Kadar hematokrit normal tinggi (berhubungan dengan infark, serebral)
4. Diabetes
5. Kontrasepsi oral peningkatan oleh hipertensi yang menyertai usia di atas 35 tahun.
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CVA atau stroke adalah kehilangan motorik disfungsi motorik yang paling umum adalah hemiplegi karena lesi pada otak yang berlawanan, hemparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh. Pada awal stroke biasanya paralisis menurunnya reflek tendon dalam, kehilangan komunikasi, gangguan persepsi, kerusakan kognitif dan efek psikologis, disfungsi kandung kemih (Smeltzer, 2002 : 213).
D. Pathofisiologi
Menurut Barbara C. Long (1996) otak sangat tergantung pada O2 dan tidak mempunyai cadangan O2, metabolisme di otak segera mengalami perubahan perfusi otak, kematian sel atau jaringan dan kerusakan permanen (secara neuromuskuler), iskemi dalam waktu lama berakibat infark otak yang disertai odema otak, sedang iskhemi dalam waktu singkat < 10-15menit menyebabkan defisit sementara.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Angiografi cerebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri adanya titik oklusi atau ruptur.
2. CT Scan : memperlihatkan adanya oedem
3. MRI : mewujudkan daerah yang mengalami infark
4. Penilaian kekuatan otot
5. EEG : mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak.
F. Penatalaksanaan
Menurut Listiono D (1998 : 113) penderita yang mengalami stroke dengan infark yang luas melibatkan sebagian besar hemisfer dan disertai adanya hemiplagia kontra lateral hemianopsia, selama stadium akut memerlukan penanganan medis dan perawatan yang didasari beberapa prinsip.
Secara praktis penanganan terhadap ischemia serebri adalah :
1. Penanganan suportif imun
a. Pemeliharaan jalan nafas dan ventilasi yang adekuat.
b. Pemeliharaan volume dan tekanan darah yang kuat.
c. Koreksi kelainan gangguan antara lain payah jantung atau aritmia.
2. Meningkatkan darah cerebral
a. Elevasi tekanan darah
b. Intervensi bedah
c. Ekspansi volume intra vaskuler
d. Anti koagulan
e. Pengontrolan tekanan intrakranial
f. Obat anti edema serebri steroid
g. Proteksi cerebral (barbitura)
Sedangkan menurut Lumban Tobing (2002 : 2) macam-macam obat yang digunakan :
1. Obat anti agregrasi trombosit (aspirasi)
2. Obat anti koagulasi : heparin
3. Obat trombolik (obat yang dapat menghancurkan trombus)
4. Obat untuk edema otak (larutan manitol 20%, obat dexametason)
Tindakan keperawatan
1. Bantu agar jalan nafas tetap terbuka (membersihkan mulut dari ludah dan lendir agar jalan nafas tetap lancar).
2. Pantau balance cairan.
3. Bila penderita tidak mampu menggunakan anggota gerak, gerakkan tiap anggota gerak secara pasif seluas geraknya.
4. Berikan pengaman pada tempat tidur untuk mencegah pasien jatuh.
G. Pathway dan Masalah Keperawatan
Trombosis Emboli serebral Perdarahan
Suplai darah tidak dapat disampaikan ke otak
Penyumbatan pembuluh darah (infark iskhemi) (non hemoragik0
Iskhemia
Infark jaringan otak
Odema paru
Nekrosis jaringan
Nervus II, III, dan IV
Defisit / trauma neurologis
Perubahan persepsi sensori
H. Intervensi
1. Dx. I
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral
Intervensi Rasionalisasi
- Tentukan faktor yang berhubungan dengan penurunan perfusi serebral dan terjadinya peningkatan TIK Kegagalan memperbaiki setelah fase awal memerlukan tindakan pembedahan dan pasien harus dipindahkan ke ICU untuk melakukan pemantauan peningkatan TIK
- Pantau status neurologis dan bandingkan dengan keadaan normalnya atau standart Mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK serta mengetahui lokasi, luas dan kerusakan SSP (sistem saraf pusat) dapat menunjukkan TIA yang merupakan tanda terjadi trombosis CVS baru.
- Pantau tanda-tanda vital seperti catat: adanya hipertensi atau hipotensi bandingkan tekanan darah yang terbaca pada ke-2 lengan Variasi mungkin terjadi oleh karena tekanan atau trauma serebral pada daerah vasomotor otak, hipertensi atau hipotensi postural dapat menjadi faktor pencetus
- Frekuensi dan irama jantung, auskultasi adanya mur-mur Perubahan terutama adanya gradikardia dapat terjadi sebagai akibat adanya kerusakan otak
- Catat perubahan dalam penglihatan seperti adanya kebutaan, gangguan lapang pandang atau kedalaman persepsi Gangguan penglihatan yang spesifik mencerminkan daerah otak yang terkena, mengindikasikan keamanan yang harus mendapat perhatian
- Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi anatomis (netral) Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan sirkulasi atau perfusi serebral
- Berikan oksigen sesuai indikasi Menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan tekanan meningkat atau terbentuknya edema
2. Dx. II.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, parestesia,, paralisis hipotonik, kerusakan kognitif.
Intervensi Rasionalisasi
- Ubah posisi minimal 2 jam (telentang, miring) dan sebagainya dan jika memungkikan bisa lebih sering jika diletakkan dalam posisi bagian yang terganggu Menurunkan resiko terjadinya trauma atau iskhemia jaringan, daerah yang terkena mengalami perburukan atau sirkulasi yang lebih jelek dan menurunkan sensasi dan lebih besar menimbulkan dekubitus
- Mulailah melakukan ROM pada semua ekstremitas saat masuk, anjurkan melakukan latihan seperti meremas bola karet, melebarkan jari-jari dan kaki atau telapak Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur menurunkan resiko terjadinya hiper kalsiuria dan osteoporosis
- Tempatkan bantal di bawah aksila untuk melakukan abduksi pada tanagn serta tinggikan tanan dan kepala Mencegah adduksi bahu dan fleksi siku serta meningkatkan aliran balik vena dan membantu mencegah terbentuknya edema
- Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi dan pertahankan kaki dalam posisi netral dengan gulungan atau bantalan Mempertahankan posisi fungsional dan mencegah rotasi eksternal pada pinggul
- Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk (seperti meninggikan bagian kepala tempat tidur, bantu untuk duduk di sisi tempat tidur, biarkan pasien menggunakan kekuatan tangan Membantu dalam melatih kembali jaras saraf, meningkatkan respons proprioseptik dan motorik
- Observasi daerah yang terkena termasuk warna, edema, atau tanda lain dari gangguan sirkulasi Jaringan yang mengalami edema lebih mudah mengalami trauma dan penyembuhannya lambat
- Berikan obat relaksasi otot, anti spasmodik sesuai indikasi, seperti: baklofen, dan trolen Diperlukan untuk menghilangkan spastisitas pada ekstremitas yang terganggu
3. Dx. III
Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kehilangan tonus atau kontrol otot, kerusakan sirkulasi serebral, disartria.
Intervensi Rasionalisasi
- Kaji tipe atau derajat disfungsi, seperti pasien tidak tampak memahami kata atau kesulitan berbicara Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses komunikasi.
- Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana (seperti “buka mata” “tunjuk ke pintu”) ulangi dengan kata atau kalimat yang sederhana Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik (afasia sensorik)
- Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda tersebut Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motoik seperti pasien mengenalinya tetapi tidak dapat menyebutkannya
- Antisipasi dan penuhi kebutuhan pasien Bermanfaat dalam menurunkan frustasi bila tergantung pada orang lain dan tidak dapat berkomunikai secara berarti
- Anjurkan pengunjung atau orang terdekat mempertahankan usahanya untuk berkomunikasi kepada pasien, seperti membaca surat, diskusi tentang hal-hal yang terjadi pada keluarga Mengurangi isolasi sosial paseien dan meningkatkan penciptaan komunikasi yang efektif
- Diskusikan mengenai hal-hal yang dikenal pasien, seperti : pekerjaan, keluarga dan hobi Meningkatkan percakapan yang bermakna dan memberikan kesempatan untuk ketrampilan
- Hargai kemampuan pasien sebelum terjadi penyakit : hindari “pembicaraan yang merendahkan” pada pasien atau membuat hal-hal yang menentang kebanggaan pasien Kemampuan untuk merasakan harga diri, sebab kemampuan intelektual pasien seringkali tetap baik.
4. Dx. IV
Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma neurologis, transmisi
Intervensi Rasionalisasi
- Lihat kembali proses patologis kondisi individual Kesadaran akan tipe atau daerah yang terkena membantu dalma mengkaji atau mengantisipasi defisit spesifik dan perawatan
- Dekati pasien dari daerah penglihatan yang normal, biarkan lampu menyala, letakkan benda dalam jangkauan lapang pengihatan yang normal Pemberian pengenalan terhadap adanya orang atau benda membantu masalah persepsi, mencegah pasien dari terkejut.
- Ciptakan lingkungan yang sederhana, pindahkan perabot yang membahayakan Menurunkan atau membatasi jumlah stimulasi penglihatan yang mungkin menimbulkan kebingungan terhadap interpretasi lingkungan
- Kaji kesadaran sensorik, seperti membedakan panas atau dingin, tajam atau tumpul, posisi bagian tubuh atau otot, rasa persendian Penurunan kesadaran terhadap sensorik dan kerusakan perasaan kinetik berpengaruh buruk terhadap keseimbangan
- Berikan stimulasi terhadap sentuhan Membantu melatih kembali jaras sensorik untuk mengintegrasikan persepsi dan interpretasi stimulasi
- Lindungi pasien dari suhu yang berlebihan, kaji adanya lingkungan yang membahayakan Meningkatkan keamanan pasien yang menurunkan resiko terjadinya trauma
- Bicara dengan tenang, perlahan, dengan menggunakan kalimat yang pendek, pertahankan kontak mata Pasien mungkin mengalami keterbatasan dalam rentang perhatian atau masalah pemahaman, tindakan ini dapat membantu pasien untuk berkomunikasi.
5. Dx. V
Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan, kehilangan koordinasi otot.
Intervensi Rasionalisasi
- Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan (dengan skala 0-4) untuk melakukan kebutuhan sehari-hari Membantu dalam mengantisipasi atau merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual
- Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat dilakukan pasien sendiri tapi beri bantuan sesuai kebutuhan Pasien mungkin menjadi sangat ketakutan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi adalah penting bagi pasien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri sendiri untuk mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan
- Pertahankan dukungan, sikap yang tegas, beri pasien waktu yang cukup untuk mengerjakan tugasnya Pasien memerlukan empati tetapi perlu untuk mengetahui pemberian asuhan yang akan membantu pasien secara konsisten
- Kaji kemampuan pasien untuk berkomunikasi tentang kebutuhannya Mungkin mengalami gangguan jika tidak dapat mengatakan kebutuhannya.
- Sadari perilaku atau aktivitas impulsif karena gangguan dalam mengambil keputusan Dapat menunjukkan kebutuhan intervensi dan pengawasan tambahan untuk meningkatkan keamanan pasien
- Beri obat supositoria dan pelunak feses Dibutuhkan pada awal untuk membantu merangsang fungsi defekasi
- Konsultasikan dengan ahli fisioterapi atau okupasi Memberi bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah”, Edisi 8, Vol 2, Jakarta: EGC
Doenges Marilynn E., et. al. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta: EGC
Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Vol 2, Jakarta: EGC
Underwood, J. C. E. 2000. Patologi Umum dan Sistematik. Volume II. Jakarta: EGC
Iskandar, Junaidi. 2002. Panduan Praktis Stroke. PT. Buana Ilmu Populer. Jakarta.
Mansjoer Arif et. al. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius
Noer Sjaifoellah. 2002. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I. Jakarta: FKUI
Nanda. 2002. Diagnosis Keperawatan Nanda. Terjemahan Mahasiswa PSIK-B FK UGM. Yogyakarta: UGM
Nettina Sandra. M. 2002. Pedoman Praktek Keperawatan. Jakarta : EGC
Iowa Outcome Project. 2000. Nursing Outcomes Clasification (NOC). Second edition. Mosby
Iowa Outcome Project. 2000. Nursing Intervention Clasification (NIC). Second edition. Mosby
Soeharso Imam, 2001. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung, Edisi Kedua Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Sustiani, Lanny, Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto. 2003. Stroke. Jakarta ; PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tambayong Jon. 2000. “Patofisiologi Untuk Keperawatan”, Jakarta, EGC
Tjokropawiro, Askandar. 2001. Diabetes Melitus, Klasifikasi, Diagnosis dan Terapi. Edisi 3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Read More
KONSEP DASAR
A. Pengertian
CVA atau stroke merupakan salah satu manifestasi neurologi yang umum yang timbul secara mendadak sebagai akibat adanya gangguan suplai darah ke otak (Depkes, 1995).
Stroke merupakan gangguan sirkulasi serebral dan merupakan satu gangguan neurologik pokal yang dapat timbul sekunder dari suatu proses patologik pada pembuluh darah serebral misalnya trombosis, embolus, ruptura dinding pembuluh atau penyakit vaskuler dasar, misalnya arterosklerosis arteritis trauma aneurisma dan kelainan perkembangan (Price, 1995).
B. Etiologi stroke
Penyebab utamanya dari stroke diurutkan dari yag paling penting adalah arterosklerosis (trombosis) embolisme, hipertensi yang menimbulkan pendarahan srebral dan ruptur aneurisme sekular.
Stroke biasanya disertai satu atau beberapa penyakit lain seperti hipertensi, penyakit jantung, peningkatan lemak di dalam darah, DM atau penyakit vasculer perifer (Price, 1995).
Menurut etiologinya stroke dapat dibagi menjadi :
1. Stroke trombotik
Terjadi akibat oklusi aliran darah biasanya karena arterosklerosis berat.
2. Stroke embolik
Berkembang sebagai akibat adanya oklusi oleh suatu embolus yang terbentuk di luar otak. Sumber embolus yang menyebabkan penyakit ini adalah termasuk jantung sebelah infark miokardium atau fibrasi atrium, arteri karotis, komunis atau aorta.
3. Stroke hemoragik
Terjadi apabila pembuluh darah di otak pecah sehingga timbul iskemik dari hipoksia di daerah hilir, penyebab hemoragik antara lain ialah hipertensi, pecahnya aneurisma, malforasi arterio venas / MAV (Corwin, 2001).
Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan stroke antara lain :
1. Hipertensi merupakan faktor resiko utama.
2. Penyakit cardiovaskuler (embolisme serebral, mungkin berasal dari jantung).
3. Kadar hematokrit normal tinggi (berhubungan dengan infark, serebral)
4. Diabetes
5. Kontrasepsi oral peningkatan oleh hipertensi yang menyertai usia di atas 35 tahun.
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CVA atau stroke adalah kehilangan motorik disfungsi motorik yang paling umum adalah hemiplegi karena lesi pada otak yang berlawanan, hemparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh. Pada awal stroke biasanya paralisis menurunnya reflek tendon dalam, kehilangan komunikasi, gangguan persepsi, kerusakan kognitif dan efek psikologis, disfungsi kandung kemih (Smeltzer, 2002 : 213).
D. Pathofisiologi
Menurut Barbara C. Long (1996) otak sangat tergantung pada O2 dan tidak mempunyai cadangan O2, metabolisme di otak segera mengalami perubahan perfusi otak, kematian sel atau jaringan dan kerusakan permanen (secara neuromuskuler), iskemi dalam waktu lama berakibat infark otak yang disertai odema otak, sedang iskhemi dalam waktu singkat < 10-15menit menyebabkan defisit sementara.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Angiografi cerebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri adanya titik oklusi atau ruptur.
2. CT Scan : memperlihatkan adanya oedem
3. MRI : mewujudkan daerah yang mengalami infark
4. Penilaian kekuatan otot
5. EEG : mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak.
F. Penatalaksanaan
Menurut Listiono D (1998 : 113) penderita yang mengalami stroke dengan infark yang luas melibatkan sebagian besar hemisfer dan disertai adanya hemiplagia kontra lateral hemianopsia, selama stadium akut memerlukan penanganan medis dan perawatan yang didasari beberapa prinsip.
Secara praktis penanganan terhadap ischemia serebri adalah :
1. Penanganan suportif imun
a. Pemeliharaan jalan nafas dan ventilasi yang adekuat.
b. Pemeliharaan volume dan tekanan darah yang kuat.
c. Koreksi kelainan gangguan antara lain payah jantung atau aritmia.
2. Meningkatkan darah cerebral
a. Elevasi tekanan darah
b. Intervensi bedah
c. Ekspansi volume intra vaskuler
d. Anti koagulan
e. Pengontrolan tekanan intrakranial
f. Obat anti edema serebri steroid
g. Proteksi cerebral (barbitura)
Sedangkan menurut Lumban Tobing (2002 : 2) macam-macam obat yang digunakan :
1. Obat anti agregrasi trombosit (aspirasi)
2. Obat anti koagulasi : heparin
3. Obat trombolik (obat yang dapat menghancurkan trombus)
4. Obat untuk edema otak (larutan manitol 20%, obat dexametason)
Tindakan keperawatan
1. Bantu agar jalan nafas tetap terbuka (membersihkan mulut dari ludah dan lendir agar jalan nafas tetap lancar).
2. Pantau balance cairan.
3. Bila penderita tidak mampu menggunakan anggota gerak, gerakkan tiap anggota gerak secara pasif seluas geraknya.
4. Berikan pengaman pada tempat tidur untuk mencegah pasien jatuh.
G. Pathway dan Masalah Keperawatan
Trombosis Emboli serebral Perdarahan
Suplai darah tidak dapat disampaikan ke otak
Penyumbatan pembuluh darah (infark iskhemi) (non hemoragik0
Iskhemia
Infark jaringan otak
Odema paru
Nekrosis jaringan
Nervus II, III, dan IV
Defisit / trauma neurologis
Perubahan persepsi sensori
H. Intervensi
1. Dx. I
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral
Intervensi Rasionalisasi
- Tentukan faktor yang berhubungan dengan penurunan perfusi serebral dan terjadinya peningkatan TIK Kegagalan memperbaiki setelah fase awal memerlukan tindakan pembedahan dan pasien harus dipindahkan ke ICU untuk melakukan pemantauan peningkatan TIK
- Pantau status neurologis dan bandingkan dengan keadaan normalnya atau standart Mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK serta mengetahui lokasi, luas dan kerusakan SSP (sistem saraf pusat) dapat menunjukkan TIA yang merupakan tanda terjadi trombosis CVS baru.
- Pantau tanda-tanda vital seperti catat: adanya hipertensi atau hipotensi bandingkan tekanan darah yang terbaca pada ke-2 lengan Variasi mungkin terjadi oleh karena tekanan atau trauma serebral pada daerah vasomotor otak, hipertensi atau hipotensi postural dapat menjadi faktor pencetus
- Frekuensi dan irama jantung, auskultasi adanya mur-mur Perubahan terutama adanya gradikardia dapat terjadi sebagai akibat adanya kerusakan otak
- Catat perubahan dalam penglihatan seperti adanya kebutaan, gangguan lapang pandang atau kedalaman persepsi Gangguan penglihatan yang spesifik mencerminkan daerah otak yang terkena, mengindikasikan keamanan yang harus mendapat perhatian
- Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi anatomis (netral) Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan sirkulasi atau perfusi serebral
- Berikan oksigen sesuai indikasi Menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan tekanan meningkat atau terbentuknya edema
2. Dx. II.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, parestesia,, paralisis hipotonik, kerusakan kognitif.
Intervensi Rasionalisasi
- Ubah posisi minimal 2 jam (telentang, miring) dan sebagainya dan jika memungkikan bisa lebih sering jika diletakkan dalam posisi bagian yang terganggu Menurunkan resiko terjadinya trauma atau iskhemia jaringan, daerah yang terkena mengalami perburukan atau sirkulasi yang lebih jelek dan menurunkan sensasi dan lebih besar menimbulkan dekubitus
- Mulailah melakukan ROM pada semua ekstremitas saat masuk, anjurkan melakukan latihan seperti meremas bola karet, melebarkan jari-jari dan kaki atau telapak Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur menurunkan resiko terjadinya hiper kalsiuria dan osteoporosis
- Tempatkan bantal di bawah aksila untuk melakukan abduksi pada tanagn serta tinggikan tanan dan kepala Mencegah adduksi bahu dan fleksi siku serta meningkatkan aliran balik vena dan membantu mencegah terbentuknya edema
- Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi dan pertahankan kaki dalam posisi netral dengan gulungan atau bantalan Mempertahankan posisi fungsional dan mencegah rotasi eksternal pada pinggul
- Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk (seperti meninggikan bagian kepala tempat tidur, bantu untuk duduk di sisi tempat tidur, biarkan pasien menggunakan kekuatan tangan Membantu dalam melatih kembali jaras saraf, meningkatkan respons proprioseptik dan motorik
- Observasi daerah yang terkena termasuk warna, edema, atau tanda lain dari gangguan sirkulasi Jaringan yang mengalami edema lebih mudah mengalami trauma dan penyembuhannya lambat
- Berikan obat relaksasi otot, anti spasmodik sesuai indikasi, seperti: baklofen, dan trolen Diperlukan untuk menghilangkan spastisitas pada ekstremitas yang terganggu
3. Dx. III
Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kehilangan tonus atau kontrol otot, kerusakan sirkulasi serebral, disartria.
Intervensi Rasionalisasi
- Kaji tipe atau derajat disfungsi, seperti pasien tidak tampak memahami kata atau kesulitan berbicara Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses komunikasi.
- Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana (seperti “buka mata” “tunjuk ke pintu”) ulangi dengan kata atau kalimat yang sederhana Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik (afasia sensorik)
- Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda tersebut Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motoik seperti pasien mengenalinya tetapi tidak dapat menyebutkannya
- Antisipasi dan penuhi kebutuhan pasien Bermanfaat dalam menurunkan frustasi bila tergantung pada orang lain dan tidak dapat berkomunikai secara berarti
- Anjurkan pengunjung atau orang terdekat mempertahankan usahanya untuk berkomunikasi kepada pasien, seperti membaca surat, diskusi tentang hal-hal yang terjadi pada keluarga Mengurangi isolasi sosial paseien dan meningkatkan penciptaan komunikasi yang efektif
- Diskusikan mengenai hal-hal yang dikenal pasien, seperti : pekerjaan, keluarga dan hobi Meningkatkan percakapan yang bermakna dan memberikan kesempatan untuk ketrampilan
- Hargai kemampuan pasien sebelum terjadi penyakit : hindari “pembicaraan yang merendahkan” pada pasien atau membuat hal-hal yang menentang kebanggaan pasien Kemampuan untuk merasakan harga diri, sebab kemampuan intelektual pasien seringkali tetap baik.
4. Dx. IV
Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma neurologis, transmisi
Intervensi Rasionalisasi
- Lihat kembali proses patologis kondisi individual Kesadaran akan tipe atau daerah yang terkena membantu dalma mengkaji atau mengantisipasi defisit spesifik dan perawatan
- Dekati pasien dari daerah penglihatan yang normal, biarkan lampu menyala, letakkan benda dalam jangkauan lapang pengihatan yang normal Pemberian pengenalan terhadap adanya orang atau benda membantu masalah persepsi, mencegah pasien dari terkejut.
- Ciptakan lingkungan yang sederhana, pindahkan perabot yang membahayakan Menurunkan atau membatasi jumlah stimulasi penglihatan yang mungkin menimbulkan kebingungan terhadap interpretasi lingkungan
- Kaji kesadaran sensorik, seperti membedakan panas atau dingin, tajam atau tumpul, posisi bagian tubuh atau otot, rasa persendian Penurunan kesadaran terhadap sensorik dan kerusakan perasaan kinetik berpengaruh buruk terhadap keseimbangan
- Berikan stimulasi terhadap sentuhan Membantu melatih kembali jaras sensorik untuk mengintegrasikan persepsi dan interpretasi stimulasi
- Lindungi pasien dari suhu yang berlebihan, kaji adanya lingkungan yang membahayakan Meningkatkan keamanan pasien yang menurunkan resiko terjadinya trauma
- Bicara dengan tenang, perlahan, dengan menggunakan kalimat yang pendek, pertahankan kontak mata Pasien mungkin mengalami keterbatasan dalam rentang perhatian atau masalah pemahaman, tindakan ini dapat membantu pasien untuk berkomunikasi.
5. Dx. V
Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan, kehilangan koordinasi otot.
Intervensi Rasionalisasi
- Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan (dengan skala 0-4) untuk melakukan kebutuhan sehari-hari Membantu dalam mengantisipasi atau merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual
- Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat dilakukan pasien sendiri tapi beri bantuan sesuai kebutuhan Pasien mungkin menjadi sangat ketakutan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi adalah penting bagi pasien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri sendiri untuk mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan
- Pertahankan dukungan, sikap yang tegas, beri pasien waktu yang cukup untuk mengerjakan tugasnya Pasien memerlukan empati tetapi perlu untuk mengetahui pemberian asuhan yang akan membantu pasien secara konsisten
- Kaji kemampuan pasien untuk berkomunikasi tentang kebutuhannya Mungkin mengalami gangguan jika tidak dapat mengatakan kebutuhannya.
- Sadari perilaku atau aktivitas impulsif karena gangguan dalam mengambil keputusan Dapat menunjukkan kebutuhan intervensi dan pengawasan tambahan untuk meningkatkan keamanan pasien
- Beri obat supositoria dan pelunak feses Dibutuhkan pada awal untuk membantu merangsang fungsi defekasi
- Konsultasikan dengan ahli fisioterapi atau okupasi Memberi bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah”, Edisi 8, Vol 2, Jakarta: EGC
Doenges Marilynn E., et. al. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta: EGC
Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Vol 2, Jakarta: EGC
Underwood, J. C. E. 2000. Patologi Umum dan Sistematik. Volume II. Jakarta: EGC
Iskandar, Junaidi. 2002. Panduan Praktis Stroke. PT. Buana Ilmu Populer. Jakarta.
Mansjoer Arif et. al. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius
Noer Sjaifoellah. 2002. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I. Jakarta: FKUI
Nanda. 2002. Diagnosis Keperawatan Nanda. Terjemahan Mahasiswa PSIK-B FK UGM. Yogyakarta: UGM
Nettina Sandra. M. 2002. Pedoman Praktek Keperawatan. Jakarta : EGC
Iowa Outcome Project. 2000. Nursing Outcomes Clasification (NOC). Second edition. Mosby
Iowa Outcome Project. 2000. Nursing Intervention Clasification (NIC). Second edition. Mosby
Soeharso Imam, 2001. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung, Edisi Kedua Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Sustiani, Lanny, Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto. 2003. Stroke. Jakarta ; PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tambayong Jon. 2000. “Patofisiologi Untuk Keperawatan”, Jakarta, EGC
Tjokropawiro, Askandar. 2001. Diabetes Melitus, Klasifikasi, Diagnosis dan Terapi. Edisi 3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL KRONIK
LAPORAN PENDAHULUAN
GAGAL GINJAL KRONIK
A. Pengertian GAGAL GINJAL KRONIK
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten dan irreversibel (Mansjoer, 2001).
Gagal ginjal kronik adalah penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel di mana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen dan dalam darah) (Smeltzer Suzzane, 2001).
Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan ringan dan ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma meningkat. Uremia adalah sindrom akibat gagal ginjal yang berat gagal ginjal terminal adalah ketidakmampuan renal berfungsi dengan adekuat untuk keperluan tubuh (harus dibantu dialisis atau transplantasi) (Mansjoer, 2001).
B. Etiologi GAGAL GINJAL KRONIK
1. Diabetes mellitus
2. Glomerulo nefritis kronis
3. Piolenefritis
4. Hipertensi yang tidak dapat dikontrol
5. Obstruksi traktus urinarius
6. Lesi herediter, seperti penyakit ginjal polikistik, gangguan vaskular infeksi medikasi atau agen toksik.
7. Lingkungan dengan agen berbahaya : timah, merkuri dan kromium.
(Smeltzer, Suzzane, 2001)
C. Manifestasi Klinis GAGAL GINJAL KRONIK
Tanda dan gejala gagal ginjal kronik disesuaikan dengan gangguan sistem yang timbul antara lain sistem gastrointestinal : anoreksia, nausea, vomitus, stomatitis dan gastritis. Kult : warna pucat, gatal-gatal, ekimosis bekas garukan. Sistem hematologik : anemia, gangguan fungsi trombosit dan lekosit. Sistem saraf dan otot : pegal di tungkai bawah, rasa kesemutan dan terbakar di telapak kaki, lemah, tak bisa tidur, tremor. Sistem kardiovaskuler : hipertensi, nyeri dada dan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema. Sistem endokrin : gangguan seksual, toleransi glukosa, metabolisme lemak, metabolisme vitamin D. (Soeparman dan Waspadji, 1998).
D. Patofisiologis GAGAL GINJAL KRONIK
Gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis, pielonefritis, obstruksi traktus urinarius sebagai akibatnya adalah penurunan filtrasi glumerulus. Menurunnya filtrasi glomerulus akan meningkatkan BUN dan kreatinin serum, kreatinin serum merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi ginjal, karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. Produk akhir metabolime protein pada fungsi renal menurun yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun di dalam darah akan terjadi uremia, azotemia. Semakin banyak ureum yang terbentuk akan tertimbun dalam kulit yang menyebabkan gejala pruritus. Pasien dengan gagal ginjal kronik terjadi perubahan natrium dan air yang meningkatkan resiko terjadinya edema yang dikarenakan retensi dari natrium dan air akibat peningkatan ADH dan ekskresi renin angiotensin. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi disertai keletihan dan sesak nafas. Semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolik seiring dengan ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mengekskresikan amonia (NH3) dan mengabsorbsi natrium bicarbonat (NC3). Hal ini menyebabkan gangguan gastrointestinal atau seperti anoreksia, mual, muntah. Pasien gagal ginjal kronik terdapat manifestasi gangguan kardiovaskuler berupa penurunan curah jantung akibat kerja jantung yang meningkat dikarenakan retensi natrium dan air.
E. Pemeriksaan Diagnostik GAGAL GINJAL KRONIK
1. Radiologi
Ditunjukkan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi gagal ginjal kronik.
2. Foto polos abdomen
Sebaiknya tanpa puasa karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal menilai bentuk dan besar ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain foto polos yang disertai tonogram memberi keterangan yang lebih baik.
3. Pielografi intra vena (PIV)
Dapat dilakukan dengan cara intravenous imfusion pyelography, menilai sistem peilviokalikes dan ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu, misalnya pada usia lanjut, diabetes mellitus dan nefropati asam urat.
4. USG
Digunakan untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises dan ureter proksimal kandung kemih serta prostat.
5. Renogram
Untuk menilai fungsi ginjal kiri dan kanan, lokasi gangguan (vaskuler, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
6. Pemeriksaan radiologi jantung
Mencari kardiomegali, efusi perikarditis.
7. Pemeriksaan radiologi tulang
Mencari osteodistrofi (terutama falank / jari)
8. Pemeriksaan radiologi paru
Mencari uremic lung yang belakangan ini disebabkan bendungan.
9. EKG
Digunakan untuk melihat kemungkinan :
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Tanda-tanda perikarditis
c. Aritmia
d. Gangguan elektrolit (hiperkalemia)
10. Biopsi ginjal
Dilakukan bila keraguan diagnostik mengenai gagal ginjal kronik menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat gagal ginjal kronik, menetapkan gangguan sistem dan membantu menetapkan etiologi seperti pemeriksaan BUN, kreatinin elektrolit, kalium, fosfor, albumin, hitung darah lengkap dan hormon paratiroid.
(Soeparman dan Waspadji, 1998)
F. Komplikasi GAGAL GINJAL KRONIK
1. Hiperkalemia
Akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan diet berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial dan tamponade jantung
Akibat retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi
Akibat retensi saluran dan natrium serta mal fungsi sistem renin angio tensin aldosteron.
4. Anemia
Akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama hemodialisa.
5. Penyakit jantung
Akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum rendah, metabolisme vit. D abnormal dan peningkatan alumunium.
G. Pathway dan Masalah Keperawatan
GAGAL GINJAL KRONIK
H. Penatalaksanaan GAGAL GINJAL KRONIK
1. Dialisis : Untuk memperbaiki abnormalitas biokimia.
2. Penanganan hiperkalemia
a. Pemberian ion pengganti renin secara oral
b. Pemberian glukosa, insulin, kalsium glikonat secara IV mendorong K+ ke dalam sel-sel
3. Mempertahankan keseimbangan cairan
4. Pertimbangan nutrisi
Diet rendah protein, tinggi kalori, rendah kalsium dan fosfat
5. Cairan IV dan diuretik
6. Koreksi asidosis dan peningkatan PO42-
7. Pemantauan berlanjut dan fase pemulihan
I. Konsep Keperawatan
Fokus pengkajian
Menurut Doengoes (2000), fokus pengkajian pada pasien gagal ginjal kronik antara lain :
1. Aktivitas / istirahat
Gejala : Kelelahan ekstremitas, kelemahan, malaise, gangguan tidur.
Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
2. Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat, nyeri dada.
Tanda : Hipertensi, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada kaki, nadi lemah halus, pucat, kuning, kecenderungan perdarahan
3. Eliminasi
Gejala : Penurunan frekuensi urine, oliguri, anuri, diare, konstipasi.
Tanda : Perubahan warna urine (kuning pekat, merah, coklat) digouria menjadi anuri.
4. Integritas ego
Gejala : Faktor stress, perasaan tidak berdaya, tak ada kekuatan.
Tanda : Menolak, ansietas, takut, marah, mudah tersinggung.
5. Makanan / cairan
Gejala : Peningkatan berat badan dengan cepat, penurunan berat badan (mal nutrisi), anoreksia, mual muntah, nyeri ulu hati.
Tanda : Asites, perubahan turgor kulit.
6. Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, penglihatan kabur, kejang, kesemutan dan kelemahan.
Tanda : Ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilanan memori, rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
7. Nyeri dan kenyamanan
Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, nyeri dada.
Tanda : Perilaku berhati-hati, gelisah.
8. Pernafasan
Gejala : Napas pendek, batuk dengan atau tanpa sputum
Tanda : Dispnea, peningkatan frekuensi, batuk
9. Keamanan
Gejala : Kulit gatal
Tanda : Pruritus, demam, fraktur tulang.
10. Seksualitas
Gejala : Penurunan libido aminorea, infertilitas.
11. Interaksi sosial
Gejala : Kesulitan menentukan kondisi/
J. Fokus Intervensi GAGAL GINJAL KRONIK
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kerusakan fungsi ginjal.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan berat badan ideal dapat dipertahankan tanpa kelebihan cairan.
KH : a. Masukan dan haluaran seimbang
b. BB stabil, edema hilang
c. Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi :
a. Pantau masukan dan haluaran secara adekuat
b. Pantau peningkatan tekanan darah
c. Kaji edema
d. Batasi cairan sesuai program
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kebutuhan nutrisi terpenuhi.
KH : a. BB ideal
b. Mual dan muntah tidak terjadi, nafsu makan meningkat
c. Hb dalam batas normal
Intervensi :
a. Kaji status nutrisi
b. Pantau BB
c. Beri makan sedikit tapi sering
d. Konsultasi dengan ahli gizi mengenai menu yang sesuai batasan diit.
(Tucker, 1998 : 162)
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan anemia.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan ADL terpenuhi.
KH : a. Berkurangnya kelemahan
b. Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti : makan, minum, BAB dan BAK secara mandir.
Intervensi :
a. Monitor faktor yang menimbulkan keletihan atau anemia.
b. Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas bantu jika keletihan muncul.
c. Anjurkan untuk istirahat setelah dialisis.
d. Pertahankan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat
(Smeltzer, 2001 : 1454)
4. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan deng an penimbunan ureum di kulit.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
KH : a. Kulit tetap utuh, tidak ada tanda-tanda peradangan
b. Turgor kulit baik
Intervensi :
a. Anjurkan pasien untuk mempertahankan kuku tetap pendek, mempertahankan suhu ruangan pada keadaan nyaman untuk mencegah keringat, mandi dengan sabun tapa deodoran
b. Atur dialisa untuk mengetahui toksik uremik dan membantu menormalkan biokimia
(Engram, 1998 : 161)
5. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan kerja jantung.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi penurunan curah jantung.
KH : Tekanan darah ± 120/80 mmHg dan frekuensi jantung dalam batas normal
Intervensi :
a. Kaji adanya derajat hipertensi
b. Kaji tingkat aktivitas
c. Evaluasi adanya edema
d. Evaluasi tekanan darah dan tanda-tanda vital
e. Selidiki keluhan nyeri dada
(Doengoes, 2003 : 629)
DAFTAR PUSTAKA
Barbara, Engram, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Doengoes, M.E. dan Moorhouse, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Smeltzer, C. Suzzane, 2001, Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Read More
GAGAL GINJAL KRONIK
A. Pengertian GAGAL GINJAL KRONIK
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten dan irreversibel (Mansjoer, 2001).
Gagal ginjal kronik adalah penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel di mana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen dan dalam darah) (Smeltzer Suzzane, 2001).
Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan ringan dan ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma meningkat. Uremia adalah sindrom akibat gagal ginjal yang berat gagal ginjal terminal adalah ketidakmampuan renal berfungsi dengan adekuat untuk keperluan tubuh (harus dibantu dialisis atau transplantasi) (Mansjoer, 2001).
B. Etiologi GAGAL GINJAL KRONIK
1. Diabetes mellitus
2. Glomerulo nefritis kronis
3. Piolenefritis
4. Hipertensi yang tidak dapat dikontrol
5. Obstruksi traktus urinarius
6. Lesi herediter, seperti penyakit ginjal polikistik, gangguan vaskular infeksi medikasi atau agen toksik.
7. Lingkungan dengan agen berbahaya : timah, merkuri dan kromium.
(Smeltzer, Suzzane, 2001)
C. Manifestasi Klinis GAGAL GINJAL KRONIK
Tanda dan gejala gagal ginjal kronik disesuaikan dengan gangguan sistem yang timbul antara lain sistem gastrointestinal : anoreksia, nausea, vomitus, stomatitis dan gastritis. Kult : warna pucat, gatal-gatal, ekimosis bekas garukan. Sistem hematologik : anemia, gangguan fungsi trombosit dan lekosit. Sistem saraf dan otot : pegal di tungkai bawah, rasa kesemutan dan terbakar di telapak kaki, lemah, tak bisa tidur, tremor. Sistem kardiovaskuler : hipertensi, nyeri dada dan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema. Sistem endokrin : gangguan seksual, toleransi glukosa, metabolisme lemak, metabolisme vitamin D. (Soeparman dan Waspadji, 1998).
D. Patofisiologis GAGAL GINJAL KRONIK
Gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis, pielonefritis, obstruksi traktus urinarius sebagai akibatnya adalah penurunan filtrasi glumerulus. Menurunnya filtrasi glomerulus akan meningkatkan BUN dan kreatinin serum, kreatinin serum merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi ginjal, karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. Produk akhir metabolime protein pada fungsi renal menurun yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun di dalam darah akan terjadi uremia, azotemia. Semakin banyak ureum yang terbentuk akan tertimbun dalam kulit yang menyebabkan gejala pruritus. Pasien dengan gagal ginjal kronik terjadi perubahan natrium dan air yang meningkatkan resiko terjadinya edema yang dikarenakan retensi dari natrium dan air akibat peningkatan ADH dan ekskresi renin angiotensin. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi disertai keletihan dan sesak nafas. Semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolik seiring dengan ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mengekskresikan amonia (NH3) dan mengabsorbsi natrium bicarbonat (NC3). Hal ini menyebabkan gangguan gastrointestinal atau seperti anoreksia, mual, muntah. Pasien gagal ginjal kronik terdapat manifestasi gangguan kardiovaskuler berupa penurunan curah jantung akibat kerja jantung yang meningkat dikarenakan retensi natrium dan air.
E. Pemeriksaan Diagnostik GAGAL GINJAL KRONIK
1. Radiologi
Ditunjukkan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi gagal ginjal kronik.
2. Foto polos abdomen
Sebaiknya tanpa puasa karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal menilai bentuk dan besar ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain foto polos yang disertai tonogram memberi keterangan yang lebih baik.
3. Pielografi intra vena (PIV)
Dapat dilakukan dengan cara intravenous imfusion pyelography, menilai sistem peilviokalikes dan ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu, misalnya pada usia lanjut, diabetes mellitus dan nefropati asam urat.
4. USG
Digunakan untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises dan ureter proksimal kandung kemih serta prostat.
5. Renogram
Untuk menilai fungsi ginjal kiri dan kanan, lokasi gangguan (vaskuler, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
6. Pemeriksaan radiologi jantung
Mencari kardiomegali, efusi perikarditis.
7. Pemeriksaan radiologi tulang
Mencari osteodistrofi (terutama falank / jari)
8. Pemeriksaan radiologi paru
Mencari uremic lung yang belakangan ini disebabkan bendungan.
9. EKG
Digunakan untuk melihat kemungkinan :
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Tanda-tanda perikarditis
c. Aritmia
d. Gangguan elektrolit (hiperkalemia)
10. Biopsi ginjal
Dilakukan bila keraguan diagnostik mengenai gagal ginjal kronik menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat gagal ginjal kronik, menetapkan gangguan sistem dan membantu menetapkan etiologi seperti pemeriksaan BUN, kreatinin elektrolit, kalium, fosfor, albumin, hitung darah lengkap dan hormon paratiroid.
(Soeparman dan Waspadji, 1998)
F. Komplikasi GAGAL GINJAL KRONIK
1. Hiperkalemia
Akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan diet berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial dan tamponade jantung
Akibat retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi
Akibat retensi saluran dan natrium serta mal fungsi sistem renin angio tensin aldosteron.
4. Anemia
Akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama hemodialisa.
5. Penyakit jantung
Akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum rendah, metabolisme vit. D abnormal dan peningkatan alumunium.
G. Pathway dan Masalah Keperawatan
GAGAL GINJAL KRONIK
H. Penatalaksanaan GAGAL GINJAL KRONIK
1. Dialisis : Untuk memperbaiki abnormalitas biokimia.
2. Penanganan hiperkalemia
a. Pemberian ion pengganti renin secara oral
b. Pemberian glukosa, insulin, kalsium glikonat secara IV mendorong K+ ke dalam sel-sel
3. Mempertahankan keseimbangan cairan
4. Pertimbangan nutrisi
Diet rendah protein, tinggi kalori, rendah kalsium dan fosfat
5. Cairan IV dan diuretik
6. Koreksi asidosis dan peningkatan PO42-
7. Pemantauan berlanjut dan fase pemulihan
I. Konsep Keperawatan
Fokus pengkajian
Menurut Doengoes (2000), fokus pengkajian pada pasien gagal ginjal kronik antara lain :
1. Aktivitas / istirahat
Gejala : Kelelahan ekstremitas, kelemahan, malaise, gangguan tidur.
Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
2. Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat, nyeri dada.
Tanda : Hipertensi, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada kaki, nadi lemah halus, pucat, kuning, kecenderungan perdarahan
3. Eliminasi
Gejala : Penurunan frekuensi urine, oliguri, anuri, diare, konstipasi.
Tanda : Perubahan warna urine (kuning pekat, merah, coklat) digouria menjadi anuri.
4. Integritas ego
Gejala : Faktor stress, perasaan tidak berdaya, tak ada kekuatan.
Tanda : Menolak, ansietas, takut, marah, mudah tersinggung.
5. Makanan / cairan
Gejala : Peningkatan berat badan dengan cepat, penurunan berat badan (mal nutrisi), anoreksia, mual muntah, nyeri ulu hati.
Tanda : Asites, perubahan turgor kulit.
6. Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, penglihatan kabur, kejang, kesemutan dan kelemahan.
Tanda : Ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilanan memori, rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
7. Nyeri dan kenyamanan
Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, nyeri dada.
Tanda : Perilaku berhati-hati, gelisah.
8. Pernafasan
Gejala : Napas pendek, batuk dengan atau tanpa sputum
Tanda : Dispnea, peningkatan frekuensi, batuk
9. Keamanan
Gejala : Kulit gatal
Tanda : Pruritus, demam, fraktur tulang.
10. Seksualitas
Gejala : Penurunan libido aminorea, infertilitas.
11. Interaksi sosial
Gejala : Kesulitan menentukan kondisi/
J. Fokus Intervensi GAGAL GINJAL KRONIK
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kerusakan fungsi ginjal.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan berat badan ideal dapat dipertahankan tanpa kelebihan cairan.
KH : a. Masukan dan haluaran seimbang
b. BB stabil, edema hilang
c. Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi :
a. Pantau masukan dan haluaran secara adekuat
b. Pantau peningkatan tekanan darah
c. Kaji edema
d. Batasi cairan sesuai program
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kebutuhan nutrisi terpenuhi.
KH : a. BB ideal
b. Mual dan muntah tidak terjadi, nafsu makan meningkat
c. Hb dalam batas normal
Intervensi :
a. Kaji status nutrisi
b. Pantau BB
c. Beri makan sedikit tapi sering
d. Konsultasi dengan ahli gizi mengenai menu yang sesuai batasan diit.
(Tucker, 1998 : 162)
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan anemia.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan ADL terpenuhi.
KH : a. Berkurangnya kelemahan
b. Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti : makan, minum, BAB dan BAK secara mandir.
Intervensi :
a. Monitor faktor yang menimbulkan keletihan atau anemia.
b. Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas bantu jika keletihan muncul.
c. Anjurkan untuk istirahat setelah dialisis.
d. Pertahankan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat
(Smeltzer, 2001 : 1454)
4. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan deng an penimbunan ureum di kulit.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
KH : a. Kulit tetap utuh, tidak ada tanda-tanda peradangan
b. Turgor kulit baik
Intervensi :
a. Anjurkan pasien untuk mempertahankan kuku tetap pendek, mempertahankan suhu ruangan pada keadaan nyaman untuk mencegah keringat, mandi dengan sabun tapa deodoran
b. Atur dialisa untuk mengetahui toksik uremik dan membantu menormalkan biokimia
(Engram, 1998 : 161)
5. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan kerja jantung.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi penurunan curah jantung.
KH : Tekanan darah ± 120/80 mmHg dan frekuensi jantung dalam batas normal
Intervensi :
a. Kaji adanya derajat hipertensi
b. Kaji tingkat aktivitas
c. Evaluasi adanya edema
d. Evaluasi tekanan darah dan tanda-tanda vital
e. Selidiki keluhan nyeri dada
(Doengoes, 2003 : 629)
DAFTAR PUSTAKA
Barbara, Engram, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Doengoes, M.E. dan Moorhouse, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Smeltzer, C. Suzzane, 2001, Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
cidera kepala
BAB I
TINJAUAN TEORI cidera kepala
A. Pengertian cidera kepala
Menurut Tucker (1998 : 496) pengertian dari cidera kepala adalah adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran.
B. Etiologi cidera kepala
Menurut Carolyn M. H. (1996 : 225) penyebab dari cidera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh dan benturan.
Klasifikasi cidera kepala :
1. Cidera Kepala Ringan
a. GCS 13 – 15
b. Tidak ada kehilangan kesadaran
c. Tidak adan infoksikasi alkohol atau obat terlarang
d. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala
f. Tidak adanya kriteria cedera sedang berat.
2. Cidera Kepala Sedang
a. GCS 9 – 12
b. Amnesia pasca trauma
c. Muntah
d. Tanda kemungkinan fraktur kranium (mata rabun, hematimpanum, otorea atau rinorea cairan serebrospinal)
e. Kejang.
3. Cidera Kepala Berat
a. GCS 3 – 8
b. Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c. Tanda neurologis fokal
d. Cedera kepala penetrasi atau teraba farktur depresi kronium.
C. Manifestasi Klinis cidera kepala
Menurut Tucker (1998 : 406-407) tanda dan gejala yang muncul pada pasien cidera kepala yaitu :
1. Perubahan tingkat kesadaran (lethargi sampai koma).
2. Perubahan tingkah laku, seperti cepat marah, gelisah, bingung, kacau mental.
3. Sakit kepala.
4. Mual dan muntah.
D. Komplikasi cidera kepala
Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 243-248) komplikasi cidera kepala adalah :
1. Edema pulmonal
2. Kejang
3. Kebocoran cairan serebrospinal
4. Hemorragi.
E. Pathway cidera kepala
F. Penatalaksanaan cidera kepala
Menurut Siahaan E.S.L (1996 : 110) penatalaksanaan cidera kepala adalah :
1. Dexamethason atau kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu monitol 20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Pembedahan.
G. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi cidera kepala
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema otak (Depkes, 1996 : 68-69).
Tujuan :
a. Tingkat kesadaran dalam batas normal.
b. Fungsi kognitif dan sensori / motorik normal.
Intervensi :
a. Kaji faktor-faktor yang menyebabkan, koma, kesadaran menurun dan peningkatan TIK.
b. Monitor dan catat status neurologik tentang frekuensi terjadi dan bandingkan dengan GCS.
1) Respon mata terhadap rangsang.
2) Respon verbal terhadap orang, waktu dan tempat.
3) Respon motorik (ekstremitas atas, bawah).
c. Evaluasi pupil, besar dan responnya terhadap cahaya.
d. Turunkan temperatur untuk mencegah hypertermi.
e. Kurangi stimulus yang tidak berarti.
f. Observasi terhadap serangan tiba-tiba dan cegah pasien dari kecelakaan.
2. Potensial tidak efektifnya pola pernapasan berhubungan dengan adanya obstruksi trakea bronkial (Siahaan E.S.L, 1996 : 58-61).
Tujuan : Pola napas efektif dalam batas normal.
Intervensi :
a. Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi dan bunyi napas.
b. Atur posisi pasien dengan posisi semi fowler (150 – 450).
c. Lakukan penghisapan lendir dengan hati-hati selama 10 – 15 detik.
d. Berikan posisi semi prone lateral atau miring.
e. Apabila pasien sudah sadar, anjurkan dan ajak latihan napas dalam.
f. Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi oksigen.
g. Lakukan dengan tim analis dalam melaksanakan analisa gas darah.
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan penurunan ADH (Siahaan E.S.L, 1996 : 62-63).
Tujuan :
a. Cairan elektrolit tubuh seimbang.
b. Turgor kulit baik.
Intervensi :
a. Monitor asupan haluaran setiap 8 jam sekali.
b. Berikan cairan setiap hari tidak boleh lebih dari 2000 cc.
c. Pasang dower kateter dan monitor warna, bau, dan aliran darah.
d. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemeriksaan kadar elektrolit tubuh.
e. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian lasix.
4. Resiko tinggi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan (Doenges M.E., 2000 : 285).
Tujuan :
a. Mendemonstrasikan pemeliharaan / kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan.
b. Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sebresi.
b. Auskultasi bising usus.
c. Timbang berat badan sesuai indikasi.
d. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien.
e. Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu sering dan teratur.
f. Kaji feces, cairan lambung, muntah darah, dan sebagainya.
5. Gangguan rasa nyaman nyeri kepala berhubungan dengan kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak atau peningkatan tekanan intrakranial (Siahaan E.S.L, 1996 : 70 -71).
Tujua : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi.
Intervensi :
a. Kaji mengenai lokasi, intensitas, penyebaran, tingkat kegawatan, dan keluhan-keluhan pasien.
b. Ajarkan latihan tehnik relaksasi.
c. Buat posisi kepala lebih tinggi.
d. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan analgetika.
6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot (Doenges M.E, 2000 : 282-283).
Tujuan :
a. Pasien dapat melakukan kembali atau mempertahankan posisi fimasi optimal.
b. Tidak ada kontraktur.
c. Mempertahankan integritas kulit.
Intervensi :
a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.
b. Kaji derajat imobilisasi pasien dengan skala ketergantungan (0 – 4).
c. Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan.
d. Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional.
e. Bantu pasien untuk melakukan rentang gerak.
f. Instruksikan atau bantu pasien dengan program latihan dan penggunaan alat mobilisasi.
7. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya kuman melalui jaringan (Depkes RI, 1996 : 121).
Tujuan : Tidak terjadi infeksi.
Intervensi :
a. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan aseptik dan antiseptik.
b. Monitor suhu tubuh dan penurunan kesadaran.
c. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat antibiotik.
d. Kolaborasi dengan tim analisis untuk pemberian kadar leukosit, liquor dari hidung, telinga, dan urin.
8. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan terjadinya kerusakan jaringan kulit (Depkes, 1996 : 81).
Tujuan :
a. Pasien dapat mengidentifikasi faktor-faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit.
b. Pasien dapat berpartisipasi / kooperatif pada setiap tindakan.
Intervensi :
a. Inspeksi area kulit, kemerahan, bengkak, penekanan, kelembapan.
b. Observasi keutuhan / integritas kulit, catat adanya pembengkakan, kemerahan, bersihkan secara rutin, berikan salep antibiotik sesuai jadwal / instruksi.
c. Rubah posisi pasien setiap 2 jam miring kanan-kiri.
d. Gunakan pakaian tidur yang kering dan lunak.
e. Latih kembali secara tehnis program latihan pasien.
9. Resiko tinggi cidera aspirasi berhubungan dengan kesulitan menelan (Carpenito , 1998 : 579-580).
Tujuan : Cidera aspirasi tidak terjadi.
Intervensi :
a. Kaji faktor-faktor penyebab dan pendukungnya.
b. Kurangi resiko terjadinya aspirasi.
c. Pertahankan pada posisi miring, jika tidak merupakan kontra indikasi cedera.
d. Tinggikan kepala.
e. Beritahu individu dan keluarga penyebab-penyebab dan pencegahan aspirasi.
DAFTAR PUSTAKA
• Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak , Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001.
• Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik , Volume II. Jakarta: EGC; 1996.
• Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik . Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000.
• Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah . Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.
Read More
TINJAUAN TEORI cidera kepala
A. Pengertian cidera kepala
Menurut Tucker (1998 : 496) pengertian dari cidera kepala adalah adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran.
B. Etiologi cidera kepala
Menurut Carolyn M. H. (1996 : 225) penyebab dari cidera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh dan benturan.
Klasifikasi cidera kepala :
1. Cidera Kepala Ringan
a. GCS 13 – 15
b. Tidak ada kehilangan kesadaran
c. Tidak adan infoksikasi alkohol atau obat terlarang
d. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala
f. Tidak adanya kriteria cedera sedang berat.
2. Cidera Kepala Sedang
a. GCS 9 – 12
b. Amnesia pasca trauma
c. Muntah
d. Tanda kemungkinan fraktur kranium (mata rabun, hematimpanum, otorea atau rinorea cairan serebrospinal)
e. Kejang.
3. Cidera Kepala Berat
a. GCS 3 – 8
b. Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c. Tanda neurologis fokal
d. Cedera kepala penetrasi atau teraba farktur depresi kronium.
C. Manifestasi Klinis cidera kepala
Menurut Tucker (1998 : 406-407) tanda dan gejala yang muncul pada pasien cidera kepala yaitu :
1. Perubahan tingkat kesadaran (lethargi sampai koma).
2. Perubahan tingkah laku, seperti cepat marah, gelisah, bingung, kacau mental.
3. Sakit kepala.
4. Mual dan muntah.
D. Komplikasi cidera kepala
Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 243-248) komplikasi cidera kepala adalah :
1. Edema pulmonal
2. Kejang
3. Kebocoran cairan serebrospinal
4. Hemorragi.
E. Pathway cidera kepala
F. Penatalaksanaan cidera kepala
Menurut Siahaan E.S.L (1996 : 110) penatalaksanaan cidera kepala adalah :
1. Dexamethason atau kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu monitol 20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Pembedahan.
G. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi cidera kepala
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema otak (Depkes, 1996 : 68-69).
Tujuan :
a. Tingkat kesadaran dalam batas normal.
b. Fungsi kognitif dan sensori / motorik normal.
Intervensi :
a. Kaji faktor-faktor yang menyebabkan, koma, kesadaran menurun dan peningkatan TIK.
b. Monitor dan catat status neurologik tentang frekuensi terjadi dan bandingkan dengan GCS.
1) Respon mata terhadap rangsang.
2) Respon verbal terhadap orang, waktu dan tempat.
3) Respon motorik (ekstremitas atas, bawah).
c. Evaluasi pupil, besar dan responnya terhadap cahaya.
d. Turunkan temperatur untuk mencegah hypertermi.
e. Kurangi stimulus yang tidak berarti.
f. Observasi terhadap serangan tiba-tiba dan cegah pasien dari kecelakaan.
2. Potensial tidak efektifnya pola pernapasan berhubungan dengan adanya obstruksi trakea bronkial (Siahaan E.S.L, 1996 : 58-61).
Tujuan : Pola napas efektif dalam batas normal.
Intervensi :
a. Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi dan bunyi napas.
b. Atur posisi pasien dengan posisi semi fowler (150 – 450).
c. Lakukan penghisapan lendir dengan hati-hati selama 10 – 15 detik.
d. Berikan posisi semi prone lateral atau miring.
e. Apabila pasien sudah sadar, anjurkan dan ajak latihan napas dalam.
f. Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi oksigen.
g. Lakukan dengan tim analis dalam melaksanakan analisa gas darah.
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan penurunan ADH (Siahaan E.S.L, 1996 : 62-63).
Tujuan :
a. Cairan elektrolit tubuh seimbang.
b. Turgor kulit baik.
Intervensi :
a. Monitor asupan haluaran setiap 8 jam sekali.
b. Berikan cairan setiap hari tidak boleh lebih dari 2000 cc.
c. Pasang dower kateter dan monitor warna, bau, dan aliran darah.
d. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemeriksaan kadar elektrolit tubuh.
e. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian lasix.
4. Resiko tinggi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan (Doenges M.E., 2000 : 285).
Tujuan :
a. Mendemonstrasikan pemeliharaan / kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan.
b. Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sebresi.
b. Auskultasi bising usus.
c. Timbang berat badan sesuai indikasi.
d. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien.
e. Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu sering dan teratur.
f. Kaji feces, cairan lambung, muntah darah, dan sebagainya.
5. Gangguan rasa nyaman nyeri kepala berhubungan dengan kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak atau peningkatan tekanan intrakranial (Siahaan E.S.L, 1996 : 70 -71).
Tujua : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi.
Intervensi :
a. Kaji mengenai lokasi, intensitas, penyebaran, tingkat kegawatan, dan keluhan-keluhan pasien.
b. Ajarkan latihan tehnik relaksasi.
c. Buat posisi kepala lebih tinggi.
d. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan analgetika.
6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot (Doenges M.E, 2000 : 282-283).
Tujuan :
a. Pasien dapat melakukan kembali atau mempertahankan posisi fimasi optimal.
b. Tidak ada kontraktur.
c. Mempertahankan integritas kulit.
Intervensi :
a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.
b. Kaji derajat imobilisasi pasien dengan skala ketergantungan (0 – 4).
c. Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan.
d. Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional.
e. Bantu pasien untuk melakukan rentang gerak.
f. Instruksikan atau bantu pasien dengan program latihan dan penggunaan alat mobilisasi.
7. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya kuman melalui jaringan (Depkes RI, 1996 : 121).
Tujuan : Tidak terjadi infeksi.
Intervensi :
a. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan aseptik dan antiseptik.
b. Monitor suhu tubuh dan penurunan kesadaran.
c. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat antibiotik.
d. Kolaborasi dengan tim analisis untuk pemberian kadar leukosit, liquor dari hidung, telinga, dan urin.
8. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan terjadinya kerusakan jaringan kulit (Depkes, 1996 : 81).
Tujuan :
a. Pasien dapat mengidentifikasi faktor-faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit.
b. Pasien dapat berpartisipasi / kooperatif pada setiap tindakan.
Intervensi :
a. Inspeksi area kulit, kemerahan, bengkak, penekanan, kelembapan.
b. Observasi keutuhan / integritas kulit, catat adanya pembengkakan, kemerahan, bersihkan secara rutin, berikan salep antibiotik sesuai jadwal / instruksi.
c. Rubah posisi pasien setiap 2 jam miring kanan-kiri.
d. Gunakan pakaian tidur yang kering dan lunak.
e. Latih kembali secara tehnis program latihan pasien.
9. Resiko tinggi cidera aspirasi berhubungan dengan kesulitan menelan (Carpenito , 1998 : 579-580).
Tujuan : Cidera aspirasi tidak terjadi.
Intervensi :
a. Kaji faktor-faktor penyebab dan pendukungnya.
b. Kurangi resiko terjadinya aspirasi.
c. Pertahankan pada posisi miring, jika tidak merupakan kontra indikasi cedera.
d. Tinggikan kepala.
e. Beritahu individu dan keluarga penyebab-penyebab dan pencegahan aspirasi.
DAFTAR PUSTAKA
• Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak , Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001.
• Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik , Volume II. Jakarta: EGC; 1996.
• Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik . Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000.
• Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah . Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.
GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
LAPORAN PENDAHULUAN
GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
A. Definisi GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
Gagal jantung Kongsetif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrient dikarenakan adanya kelainan fungsi jantung yang berakibat jantung gagal memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (Braundwald).
B. Etiologi GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot jantung mencakup ateroslerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit degeneratif atau inflamasi
Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
Hipertensi Sistemik atau pulmunal (peningkatan after load) meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.
Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
Penyakit jantung lain, terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katub semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, pericardium, perikarditif konstriktif atau stenosis AV), peningkatan mendadak after load
Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar factor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (missal : demam, tirotoksikosis). Hipoksia dan anemi juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolic dan abnormalita elektronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung.
Grade gagal jantung menurut New York Heart Association, terbagi dalam 4 kelainan fungsional :
I. Timbul sesak pada aktifitas fisik berat
II. Timbul sesak pada aktifitas fisik sedang
III. Timbul sesak pada aktifitas fisik ringan
IV. Timbul sesak pada aktifitas fisik sangat ringan / istirahat
C. Patofisiologi GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan metabolisme dengan menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi untuk mempertahankan kardiak output, yaitu meliputi :
a. Respon system saraf simpatis terhadap barroreseptor atau kemoreseptor
b. Pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap peningkatan volume
c. Vaskontriksi arterirenal dan aktivasi system rennin angiotensin
d. Respon terhadap serum sodium dan regulasi ADH dan reabsorbsi terhadap cairan
Kegagalan mekanisme kompensasi dapat dipercepat oleh adanya volume darah sirkulasi yang dipompakan untuk melawan peningkatan resistensi vaskuler oleh pengencangan jantung. Kecepatan jantung memperpendek waktu pengisian ventrikel dari arteri coronaria. Menurunnya COP dan menyebabkan oksigenasi yang tidak adekuat ke miokardium. Peningkatan dinding akibat dilatasi menyebabkan peningkatan tuntutan oksigen dan pembesaran jantung (hipertrophi) terutama pada jantung iskemik atau kerusakan yang menyebabkan kegagalan mekanisme pemompaan.
D. Manifestasi klinis GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
Tanda dominan :
Meningkatnya volume intravaskuler
Kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat akibat penurunan curah jantung. Manifestasi kongesti berbeda tergantung pada kegagalan ventrikel mana yang terjadi.
Gagal Jantung Kiri :
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri karena ventrikel kiri tak mampu memompa darah yang dating dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi yaitu :
Dispnea, Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu pertukaran gas. Dapat terjadi ortopnoe. Beberapa pasien dapat mengalami ortopnoe pada malam hari yang dinamakan Paroksimal Nokturnal Dispnea (PND)
Batuk
Mudah lelah, Terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dan sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme. Juga terjadi karena meningkatnya energi yang digunakan untuk bernafas dan insomnia yang terjadi karena distress pernafasan dan batuk
Kegelisahan atau kecemasan, Terjadi karena akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik
Gagal jantung Kanan :
Kongestif jaringan perifer dan visceral
Oedema ekstremitas bawah (oedema dependen), biasanya oedema pitting, penambahan BB.
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat pembesaran vena hepar
Anoreksia dan mual, terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga abdomen
Nokturia
Kelemahan
E. Evaluasi diagnostik GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
Meliputi evaluasi manifestasi klinis dan pemantauan hemodinamik. Pengukuran tekanan preload, afterload dan curah jantung dapat diperoleh melalui lubang-lubang yang terletak pada berbagai interfal sepanjang kateter. Pengukuran CVP (N 15 – 20 mmHg) dapat menghasilkan pengukuran preload yang akurat. PAWP atau Pulmonary Aretry Wedge Pressure adalah tekanan penyempitan aretri pulmonal dimana yang diukur adalah tekanan akhir diastolic ventrikel kiri. Curah jantung diukur dengan suatu lumen termodelusi yang dihubungkan dengan komputer.
F. Penatalaksanaan GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
Tujuan pengobatan adalah :
Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung
Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraktilitas miokardium dengan preparat farmakologi
Membuang penumpukan air tubuh yang berlebihan dengan cara memberikan terapi antidiuretik, diit dan istirahat
Terapi Farmakologis :
-. Glikosida jantung
Digitalis, meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan memperlambat frekuensi jantung.
Efek yang dihasillkan : peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena dan volume darah dan peningkatan diurisi dan mengurangi oedema.
- Terapi diuretic, diberikan untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal. Penggunaan harus hati-hati karena efek samping hiponatremia dan hipokalemia
- Terapi vasodilator, obat-obat fasoaktif digunakan untuk mengurangi impadasi tekanan terhadap penyemburan darah oleh ventrikel. Obat ini memperbaiki pengosongan ventrikel dan peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat diturunkan.
Dukungan diit : pembatasan natrium untuk mencegah, mengontrol atau menghilangkan oedema.
G. Proses keperawatan
1. Pengkajian
• Pengkajian Primer
Airway :
batuk dengan atau tanpa sputum, penggunaan bantuan otot pernafasan, oksigen, dll
Breathing :
Dispnea saat aktifitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal
Circulation :
Riwayat HT IM akut, GJK sebelumnya, penyakit katub jantung, anemia, syok dll. Tekanan darah, nadi, frekuensi jantung, irama jantung, nadi apical, bunyi jantung S3, gallop, nadi perifer berkurang, perubahan dalam denyutan nadi juguralis, warna kulit, kebiruan punggung, kuku pucat atau sianosis, hepar ada pembesaran, bunyi nafas krakles atau ronchi, oedema
• Pengkajian Sekunder
Aktifitas/istirahat
Keletihan, insomnia, nyeri dada dengan aktifitas, gelisah, dispnea saat istirahat atau aktifitas, perubahan status mental, tanda vital berubah saat beraktifitas.
Integritas ego : Ansietas, stress, marah, takut dan mudah tersinggung
Eliminasi
Gejala penurunan berkemih, urin berwarna pekat, berkemih pada malam hari, diare / konstipasi
Makanana/cairan
Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, penambahan BB signifikan. Pembengkakan ekstremitas bawah, diit tinggi garam penggunaan diuretic distensi abdomen, oedema umum, dll
Hygiene : Keletihan selama aktifitas perawatan diri, penampilan kurang.
Neurosensori
Kelemahan, pusing, lethargi, perubahan perilaku dan mudah tersinggung.
Nyeri/kenyamanan
Nyeri dada akut- kronik, nyeri abdomen, sakit pada otot, gelisah
Interaksi social : penurunan aktifitas yang biasa dilakukan
Pemeriksaan Diagnostik GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
Foto torax dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, oedema atau efusi pleura yang menegaskan diagnosa CHF
EKG dapat mengungkapkan adanya tachicardi, hipertrofi bilik jantung dan iskemi (jika disebabkan AMI), Ekokardiogram
Pemeriksaan Lab meliputi : Elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang rendah sehingga hasil hemodelusi darah dari adanya kelebihan retensi air, K, Na, Cl, Ureum, gula darah
2. Diagnosa Keperawatan GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
Penurunan perfusi jaringan b.d menurunnya curah jantung, hipoksemia jaringan, asidosis dan kemungkinan thrombus atau emboli, kemungkinan dibuktikan oleh :
- Daerah perifer dingin, Nyeri dada
- EKG elevasi segmen ST dan Q patologis pada lead tertentu.
- RR lebih dari 24 kali per menit, Nadi 100 X/menit
- Kapiler refill lebih dari 3 detik
- Gambaran foto toraks terdapat pembesaran jantung dan kongestif paru
- HR lebih dari 100X/menit, TD 120/80 mmHg, AGD dengan : pa O2 80 mmHg, pa CO2 45 mmHg dan saturasi 80 mmHg.
- Terjadi peningkatan enzim jantung yaitu CK, AST, LDL/HDL
Tujuan :
Gangguan perfusi jaringan berkurang atau tidak meluas selama dilakukan tindakan perawatan
Kriteria :
Daerah perifer hangat, tidak sianosis,gambaran EKG tak menunjukkan perluasan infark, RR 16-24 X/mnt, clubbing finger (-), kapiler refill 3-5 detik, nadi 60-100X/mnt, TD 120/80 mmHg.
Rencana Tindakan :
- Monitor frekuensi dan irama jantung
- Observasi perubahan status mental
- Observasi warna dan suhu kulit/membran mukosa
- Ukur haluaran urin dan catat berat jenisnya
- Kolaborasi : berikan cairan IV sesuai indikasi
- Pantau pemeriksaan diagnostik dan lab. Missal EKG, elektrolit, GDA (pa O2, pa CO2 dan saturasi O2), dan pemeriksaan oksigen
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d penumpukan sekret
Tujuan :
Jalan nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di RS.
Kriteria hasil :
Tidak sesak nafas, RR normal (16-24 X/menit) , tidak ada secret, suara nafas normal
Intervensi :
- Catat frekuensi & kedalaman pernafasan, penggunaan otot Bantu pernafasan.
- Auskultasi paru untuk mengetahui penurunan/tidak adanya bunyi nafas dan adanya bunyi tambahan missal krakles, ronchi, dll
- Lakukan tindakan untuk memperbaiki/mempertahankan jalan nafas misal batuk, penghisapan lendir, dll
- Tinggikan kepala / mpat tidur sesuai kebutuhan / toleransi pasien
- Kaji toleransi aktifitas misal keluhan kelemahan/kelelahan selama kerja
Kemungkinan terhadap kelebihan volume cairan ekstravaskuler b.d penurunan perfusi ginjal, peningkatan natrium / retensi air, peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma ( menyerap cairan dalam area interstisial / jaringan
Tujuan :
Keseimbangan volume cairan dapat dipertahankan selama dilakukan tindakan keperawatan selama di rawat di RS
Kriteria :
Mempertahankan keseimbangan cairan seperti dibuktikan oleh tekanan darah dalam batas normal, tidak ada distensi vena perifer/vena dan oedema dependen, paru bersih dan BB ideal (BB ideal = TB – 100 10%)
Intervensi :
- Ukur masukan/haluaran, catat penurunan, pengeluaran, sifat konsentrasi, hitung keseimbangan cairan
- Observasi adanya oedema dependen
- Timbang BB tiap hari
- Pertahankan masukan cairan 2000 ml/24 jam dalam toleransi kardiovaskuler
- Kolaborasi : pemberian diit rendah natrium, berikan diuretic
- Kaji JVP setelah terapi diuretic
- Pantau CVP dan tekanan darah
Pola nafas tidak efektif b.d penurunan volume paru, hepatomegali, splenomegali, kemungkinan dibuktikan oleh : perubahan kedalaman dan kecepatan pernafasan, gangguan pengembangan dada, GDA tidak normal.
Tujuan :
Pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatab selama di RS, RR normal, tidak ada bunyi nafas tambahan dan penggunaan otot Bantu pernafasan dan GDA normal.
Intervensi :
- Monitor kedalaman pernafasan, frekuensi dan kespansi dada
- Catat upaya pernafasan termasuk penggunaan otot Bantu nafas
- Auskultasi bunyi nafas dan catat bila ada bunyi nafas tambahan
- Tinggikan kepala dan Bantu untuk mencapai posisi yang senyaman mungkin.
- Kolaborasi pemberian oksigen dan pemeriksaan GDA.
Intoleransi aktifitas b.d ketidakseimbangan antar suplai oksigen miokard dan kebutuhan, adanya iskemik / nekrotik jaringan miokard, kemungkinan dibuktikan oleh : gangguan frekuensi jantung, tekanan darah dalam katifitas, terjadinya disritmia dan kelemahan umum.
Tujuan :
Terjadi peningkatan toleransi pada klien setelah dilaksanakan tindakan keperawatan.
Kriteria :
Frekuensi jantung 60-100 X/mnt, TD 120/80 mmHg
Intervensi :
- Catat frekuensi jantung, irama dan perubahan TD selama dan sesudah aktifitas
- Tingkatkan istirahat (ditempat tidur)
- Batasi aktifitas pada dasar nyeri dan berikan aktifitas sensori yang tidak berat
- Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktifitas, contoh bangun dari kursi bila tidak ada nyeri, ambulasi dan istirahat selama 1 jam setelah makan
DAFTAR PUSTAKA
Brummer & Suddart. 2002. Edisi 8. Vol 2. Jakarta : EGC.
Carpenito, L. J. 2001. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa Keperawatan dan Masalah Keperawatan. Jakarta : EGC.Diane, Boughman. 2000.
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.Doenges, Marlyn. 1999.
Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.Long. Barbara C. 1996.
Perawatan Medikal Bedah Vol. 2. Bandung : Yayasan Alummi Pendidikan Keperawatan Padjajaran.Mahasiswa PSIK.B. 2001.
Diagnosa Keperawatan. Nanda. Definisi dan Klafikasi. 2001-2002. Yogyakarta : FK-UGM.Mansjoer Arif. 1999.
Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius : FKUL.Robin dan Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi II. Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzzare C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.Theodorus, 1996. Penuntun Praktis Peresepan Obat. Jakarta : EGC.
Read More
GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
A. Definisi GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
Gagal jantung Kongsetif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrient dikarenakan adanya kelainan fungsi jantung yang berakibat jantung gagal memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (Braundwald).
B. Etiologi GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot jantung mencakup ateroslerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit degeneratif atau inflamasi
Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
Hipertensi Sistemik atau pulmunal (peningkatan after load) meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.
Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
Penyakit jantung lain, terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katub semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, pericardium, perikarditif konstriktif atau stenosis AV), peningkatan mendadak after load
Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar factor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (missal : demam, tirotoksikosis). Hipoksia dan anemi juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolic dan abnormalita elektronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung.
Grade gagal jantung menurut New York Heart Association, terbagi dalam 4 kelainan fungsional :
I. Timbul sesak pada aktifitas fisik berat
II. Timbul sesak pada aktifitas fisik sedang
III. Timbul sesak pada aktifitas fisik ringan
IV. Timbul sesak pada aktifitas fisik sangat ringan / istirahat
C. Patofisiologi GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan metabolisme dengan menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi untuk mempertahankan kardiak output, yaitu meliputi :
a. Respon system saraf simpatis terhadap barroreseptor atau kemoreseptor
b. Pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap peningkatan volume
c. Vaskontriksi arterirenal dan aktivasi system rennin angiotensin
d. Respon terhadap serum sodium dan regulasi ADH dan reabsorbsi terhadap cairan
Kegagalan mekanisme kompensasi dapat dipercepat oleh adanya volume darah sirkulasi yang dipompakan untuk melawan peningkatan resistensi vaskuler oleh pengencangan jantung. Kecepatan jantung memperpendek waktu pengisian ventrikel dari arteri coronaria. Menurunnya COP dan menyebabkan oksigenasi yang tidak adekuat ke miokardium. Peningkatan dinding akibat dilatasi menyebabkan peningkatan tuntutan oksigen dan pembesaran jantung (hipertrophi) terutama pada jantung iskemik atau kerusakan yang menyebabkan kegagalan mekanisme pemompaan.
D. Manifestasi klinis GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
Tanda dominan :
Meningkatnya volume intravaskuler
Kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat akibat penurunan curah jantung. Manifestasi kongesti berbeda tergantung pada kegagalan ventrikel mana yang terjadi.
Gagal Jantung Kiri :
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri karena ventrikel kiri tak mampu memompa darah yang dating dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi yaitu :
Dispnea, Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu pertukaran gas. Dapat terjadi ortopnoe. Beberapa pasien dapat mengalami ortopnoe pada malam hari yang dinamakan Paroksimal Nokturnal Dispnea (PND)
Batuk
Mudah lelah, Terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dan sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme. Juga terjadi karena meningkatnya energi yang digunakan untuk bernafas dan insomnia yang terjadi karena distress pernafasan dan batuk
Kegelisahan atau kecemasan, Terjadi karena akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik
Gagal jantung Kanan :
Kongestif jaringan perifer dan visceral
Oedema ekstremitas bawah (oedema dependen), biasanya oedema pitting, penambahan BB.
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat pembesaran vena hepar
Anoreksia dan mual, terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga abdomen
Nokturia
Kelemahan
E. Evaluasi diagnostik GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
Meliputi evaluasi manifestasi klinis dan pemantauan hemodinamik. Pengukuran tekanan preload, afterload dan curah jantung dapat diperoleh melalui lubang-lubang yang terletak pada berbagai interfal sepanjang kateter. Pengukuran CVP (N 15 – 20 mmHg) dapat menghasilkan pengukuran preload yang akurat. PAWP atau Pulmonary Aretry Wedge Pressure adalah tekanan penyempitan aretri pulmonal dimana yang diukur adalah tekanan akhir diastolic ventrikel kiri. Curah jantung diukur dengan suatu lumen termodelusi yang dihubungkan dengan komputer.
F. Penatalaksanaan GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
Tujuan pengobatan adalah :
Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung
Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraktilitas miokardium dengan preparat farmakologi
Membuang penumpukan air tubuh yang berlebihan dengan cara memberikan terapi antidiuretik, diit dan istirahat
Terapi Farmakologis :
-. Glikosida jantung
Digitalis, meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan memperlambat frekuensi jantung.
Efek yang dihasillkan : peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena dan volume darah dan peningkatan diurisi dan mengurangi oedema.
- Terapi diuretic, diberikan untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal. Penggunaan harus hati-hati karena efek samping hiponatremia dan hipokalemia
- Terapi vasodilator, obat-obat fasoaktif digunakan untuk mengurangi impadasi tekanan terhadap penyemburan darah oleh ventrikel. Obat ini memperbaiki pengosongan ventrikel dan peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat diturunkan.
Dukungan diit : pembatasan natrium untuk mencegah, mengontrol atau menghilangkan oedema.
G. Proses keperawatan
1. Pengkajian
• Pengkajian Primer
Airway :
batuk dengan atau tanpa sputum, penggunaan bantuan otot pernafasan, oksigen, dll
Breathing :
Dispnea saat aktifitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal
Circulation :
Riwayat HT IM akut, GJK sebelumnya, penyakit katub jantung, anemia, syok dll. Tekanan darah, nadi, frekuensi jantung, irama jantung, nadi apical, bunyi jantung S3, gallop, nadi perifer berkurang, perubahan dalam denyutan nadi juguralis, warna kulit, kebiruan punggung, kuku pucat atau sianosis, hepar ada pembesaran, bunyi nafas krakles atau ronchi, oedema
• Pengkajian Sekunder
Aktifitas/istirahat
Keletihan, insomnia, nyeri dada dengan aktifitas, gelisah, dispnea saat istirahat atau aktifitas, perubahan status mental, tanda vital berubah saat beraktifitas.
Integritas ego : Ansietas, stress, marah, takut dan mudah tersinggung
Eliminasi
Gejala penurunan berkemih, urin berwarna pekat, berkemih pada malam hari, diare / konstipasi
Makanana/cairan
Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, penambahan BB signifikan. Pembengkakan ekstremitas bawah, diit tinggi garam penggunaan diuretic distensi abdomen, oedema umum, dll
Hygiene : Keletihan selama aktifitas perawatan diri, penampilan kurang.
Neurosensori
Kelemahan, pusing, lethargi, perubahan perilaku dan mudah tersinggung.
Nyeri/kenyamanan
Nyeri dada akut- kronik, nyeri abdomen, sakit pada otot, gelisah
Interaksi social : penurunan aktifitas yang biasa dilakukan
Pemeriksaan Diagnostik GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
Foto torax dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, oedema atau efusi pleura yang menegaskan diagnosa CHF
EKG dapat mengungkapkan adanya tachicardi, hipertrofi bilik jantung dan iskemi (jika disebabkan AMI), Ekokardiogram
Pemeriksaan Lab meliputi : Elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang rendah sehingga hasil hemodelusi darah dari adanya kelebihan retensi air, K, Na, Cl, Ureum, gula darah
2. Diagnosa Keperawatan GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
Penurunan perfusi jaringan b.d menurunnya curah jantung, hipoksemia jaringan, asidosis dan kemungkinan thrombus atau emboli, kemungkinan dibuktikan oleh :
- Daerah perifer dingin, Nyeri dada
- EKG elevasi segmen ST dan Q patologis pada lead tertentu.
- RR lebih dari 24 kali per menit, Nadi 100 X/menit
- Kapiler refill lebih dari 3 detik
- Gambaran foto toraks terdapat pembesaran jantung dan kongestif paru
- HR lebih dari 100X/menit, TD 120/80 mmHg, AGD dengan : pa O2 80 mmHg, pa CO2 45 mmHg dan saturasi 80 mmHg.
- Terjadi peningkatan enzim jantung yaitu CK, AST, LDL/HDL
Tujuan :
Gangguan perfusi jaringan berkurang atau tidak meluas selama dilakukan tindakan perawatan
Kriteria :
Daerah perifer hangat, tidak sianosis,gambaran EKG tak menunjukkan perluasan infark, RR 16-24 X/mnt, clubbing finger (-), kapiler refill 3-5 detik, nadi 60-100X/mnt, TD 120/80 mmHg.
Rencana Tindakan :
- Monitor frekuensi dan irama jantung
- Observasi perubahan status mental
- Observasi warna dan suhu kulit/membran mukosa
- Ukur haluaran urin dan catat berat jenisnya
- Kolaborasi : berikan cairan IV sesuai indikasi
- Pantau pemeriksaan diagnostik dan lab. Missal EKG, elektrolit, GDA (pa O2, pa CO2 dan saturasi O2), dan pemeriksaan oksigen
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d penumpukan sekret
Tujuan :
Jalan nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di RS.
Kriteria hasil :
Tidak sesak nafas, RR normal (16-24 X/menit) , tidak ada secret, suara nafas normal
Intervensi :
- Catat frekuensi & kedalaman pernafasan, penggunaan otot Bantu pernafasan.
- Auskultasi paru untuk mengetahui penurunan/tidak adanya bunyi nafas dan adanya bunyi tambahan missal krakles, ronchi, dll
- Lakukan tindakan untuk memperbaiki/mempertahankan jalan nafas misal batuk, penghisapan lendir, dll
- Tinggikan kepala / mpat tidur sesuai kebutuhan / toleransi pasien
- Kaji toleransi aktifitas misal keluhan kelemahan/kelelahan selama kerja
Kemungkinan terhadap kelebihan volume cairan ekstravaskuler b.d penurunan perfusi ginjal, peningkatan natrium / retensi air, peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma ( menyerap cairan dalam area interstisial / jaringan
Tujuan :
Keseimbangan volume cairan dapat dipertahankan selama dilakukan tindakan keperawatan selama di rawat di RS
Kriteria :
Mempertahankan keseimbangan cairan seperti dibuktikan oleh tekanan darah dalam batas normal, tidak ada distensi vena perifer/vena dan oedema dependen, paru bersih dan BB ideal (BB ideal = TB – 100 10%)
Intervensi :
- Ukur masukan/haluaran, catat penurunan, pengeluaran, sifat konsentrasi, hitung keseimbangan cairan
- Observasi adanya oedema dependen
- Timbang BB tiap hari
- Pertahankan masukan cairan 2000 ml/24 jam dalam toleransi kardiovaskuler
- Kolaborasi : pemberian diit rendah natrium, berikan diuretic
- Kaji JVP setelah terapi diuretic
- Pantau CVP dan tekanan darah
Pola nafas tidak efektif b.d penurunan volume paru, hepatomegali, splenomegali, kemungkinan dibuktikan oleh : perubahan kedalaman dan kecepatan pernafasan, gangguan pengembangan dada, GDA tidak normal.
Tujuan :
Pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatab selama di RS, RR normal, tidak ada bunyi nafas tambahan dan penggunaan otot Bantu pernafasan dan GDA normal.
Intervensi :
- Monitor kedalaman pernafasan, frekuensi dan kespansi dada
- Catat upaya pernafasan termasuk penggunaan otot Bantu nafas
- Auskultasi bunyi nafas dan catat bila ada bunyi nafas tambahan
- Tinggikan kepala dan Bantu untuk mencapai posisi yang senyaman mungkin.
- Kolaborasi pemberian oksigen dan pemeriksaan GDA.
Intoleransi aktifitas b.d ketidakseimbangan antar suplai oksigen miokard dan kebutuhan, adanya iskemik / nekrotik jaringan miokard, kemungkinan dibuktikan oleh : gangguan frekuensi jantung, tekanan darah dalam katifitas, terjadinya disritmia dan kelemahan umum.
Tujuan :
Terjadi peningkatan toleransi pada klien setelah dilaksanakan tindakan keperawatan.
Kriteria :
Frekuensi jantung 60-100 X/mnt, TD 120/80 mmHg
Intervensi :
- Catat frekuensi jantung, irama dan perubahan TD selama dan sesudah aktifitas
- Tingkatkan istirahat (ditempat tidur)
- Batasi aktifitas pada dasar nyeri dan berikan aktifitas sensori yang tidak berat
- Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktifitas, contoh bangun dari kursi bila tidak ada nyeri, ambulasi dan istirahat selama 1 jam setelah makan
DAFTAR PUSTAKA
Brummer & Suddart. 2002. Edisi 8. Vol 2. Jakarta : EGC.
Carpenito, L. J. 2001. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa Keperawatan dan Masalah Keperawatan. Jakarta : EGC.Diane, Boughman. 2000.
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.Doenges, Marlyn. 1999.
Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.Long. Barbara C. 1996.
Perawatan Medikal Bedah Vol. 2. Bandung : Yayasan Alummi Pendidikan Keperawatan Padjajaran.Mahasiswa PSIK.B. 2001.
Diagnosa Keperawatan. Nanda. Definisi dan Klafikasi. 2001-2002. Yogyakarta : FK-UGM.Mansjoer Arif. 1999.
Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius : FKUL.Robin dan Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi II. Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzzare C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.Theodorus, 1996. Penuntun Praktis Peresepan Obat. Jakarta : EGC.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ASMA
KONSEP DASAR Asma
A. Pengertian
Asma adalah penyakit paru dengan ciri khas yakni saluran napas sangat mudah bereaksi terhadap berbagai rangsangan atau pencetus dengan manifestasi berupa serangan asma. Kelainan yang didapatkan adalah :
1. Otot bronkus akan mengerut (terjadi penyempitan)
2. Selaput lendir bronkus edema
3. Produksi lendir makin banyak lengket dan kental sehingga ketiga hal tersebut menyebabkan saluran lobang bronkus menjadi sempit dan anak akan batuk bahkan dapat sampai sesak nafas. Serangan demikian dapat hilang sendiri atau hilang dengan pertolongan obat.
(Ngastiyah, 1997)
Asma bronkial merupakan gangguan inflamasi kronik jalan nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi. dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi jalan napas, dan gejala pernapasan (mengi dan sesak) (Mansjoer, Arif, 2000).
B. Etiologi Asma
Penyebab asma masih belum jelas. Di duga yang memegang peranan utama ialah reaksi kelebihan dari trakhea dan bronkus (hiperaktivitas bronkus), yang belum jelas diketahui penyebabnya. Diduga karena adanya hambatan dari sebagian sistem adrenergik, kurangnya enzim adenilsiklae dan meningginya tonus sistem parasimpatik, sehingga mudah terjadinya kelebihan tonus parasimpatik kalau ada rangsangan yang menyebabkan terjadiya spasme bronkus. Banyak faktor yang ikut menentukan derajat reaktivitas atau iritabilitas tersebut di imunologis, infeksi, endokrin, faktor psikologis, oleh karena itu asma disebut penyakit yang multifaktoral (Ngastiyah, 1997).
Satu teori (szentivangi) menganggap asma terutama disebabkan oleh kelainan fungsi reseptor -adrenergik adenilat siklase, disertai penurunan respon adrenergik (Richard, 1988).
C. Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan. Gejala-gejala asma antara lain :
1. Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop
2. Batuk produktif, sering pada malam hari
3. Napas atau dada seperti tertekan
Gejalanya seperti paroksimal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk pada malam hari (Mansjoer, Arif : 2000).
Asma ditandai oleh adanya 3 kelainan yakni konstriksi otot bronkos inflamasi mukosa, dan bertambahnya konstriksi jalan nafas. Pada saat terjadi permukaan serangan terlihat mukosa pucat, terdapat edema dan sekresi bertambah. Lumen bronkus menyempit akibat spasme. Terlihat kongesti pembuluh darah, infiltrasi sel eosinofil dalam sekret di dalam lumen saluran nafas. Jika serangan sering terjadi dan lama atau menahun akan terlihat deskuamasi (mengelupas) epitel, penelaban membran hialin basal, hiperplasia serta elastin, juga hiperplasi dan hipertrofi otot bronkus. Pada serangan yang berat atau pada asma yang menahun terdapat penyumbatan bronkus oleh mukus yang kental (Ngastiyah, 1997).
D. Patofisiologi Asma
Tiga unsur yang ikut serta pada obstruksi jalan udara penderita asma adalah spasme otot polos; edema dan inflamasi membran mukosa jalan udara; dan eksudasi mukus intraluminal, sel-sel radang dan debris selular. Obstruksi menyebabkan pertambahan resistensi jalan udara, yang merendahkan ekspirasi paksa dan kecepatan aliran, penutupan prematur jalan udara, hiperinflasi paru, bertambahnya kerja pernapasan, perubahan sifat elastik dan frekuensi pernapasan. Walaupun obstruksi jalan udara bersifat difus, khas perbedaan 1 bagian dengan bagian lain paru. Ini berakibat perfusi bagian paru yang tidak cukup mendapat ventilasi dan menyebabkan kelainan gas-gas darah, terutama penurunan pO2. Pada permulaan serangan asma akut, pCO2 arteri biasanya menurun akibat hiperventilasi. Dengan memburuknya proses obstruksi, hipoventilasi alveolar menyebabkan kenaikan pCO2 dan bila kemampuan buffer habis, pH darah turun hipertensi pulmonal regangan ventrikel kanan, dan kegagalan pengisian ventrikel kiri mungkin terjadi (Richard, 1988).
E. Pathway Asma
Edema
Obstruksi jalan napas
Hipoventilasi
Ketidakseimbangan O2 dan CO2
Sesak nafas
Ketidakefektifan pola nafas
Gangguan rasa nyaman
Alergen (masuk melalui alat pernapasan)
Merangsang sel plasma menghasilkan IgE
IgE menempel pada reseptor dinding sel mast alergen menempel pada selmast tersensitisasi
Degranulasi
Mengeluarkan mediator seperti histamin, leukotrien, faktor pengaktivasi platelet, bradikinin
Peningkatan
permeabilitas
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
Hipoksia
Suplai O2 berkurang
Anoreksia
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
Peningkatan produksi mukus
Akumulasi sekret
Merangsang batuk
Perubahan pola
tidur
Sumber :
- Barata Wijaya (1990)
- Mansjoer (2000)
- Dongoes (1999)
- Junadi (1982)
F. Diagnosis Asma
Diagnosis asma berdasarkan :
1. Anamnesis : riwayat perjalanan penyakit, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap asma, riwayat keluarga dan riwayat adanya alergi, serta gejala klinis.
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium : darah (terutama eosinofil, IgE total, IgE spesifik), sputum (eosinofil, spiral carsman, kristal charcot-leyden).
4. Tes fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter untuk menentukan adanya obstruksi jalan nafas.
(Mansjoer, Arif, 2000)
G. Komplikasi Asma
1. Pneumotoraks
2. Pneumomediastinum dan emfisema subkutis
3. Atelektasis
4. Aspergilosis bronko pulmonar alergik
5. Gagal nafas
6. Bronkitis
7. Fraktur iga
(Mansjoer, Arif, 2000)
H. Pemeriksaan Diagnostik Asma
1. Uji faal paru. Uji faal paru dikerjakan untuk menentukan derajat obstruksi, menilai hasil provokasi bronkus, menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit. Alat yang digunakan adalah peak flow meter.
2. Foto toraks. Pada pasien asma yang telah kronik akan terlihat jelas adanya kelainan berupa hiperinvasi atau atelektasis.
3. Pemeriksaan darah. Hasilnya akan terdapat eosinofilia pada darah tepi dan sekret hidung. Selain itu juga dilakukan uji tuberkulin dan uji kulit dengan menggunakan alergen.
(Ngastiyah, 1997)
I. Penatalaksanaan Asma
1. Medis
a. Oksigen
b. Periksa keadaan gas darah dan pasang IVFD dengan cairan
2. Teofilin
3. Kortikosteroid (intravena)
4. Usaha pengenceran lendier dengan obat mukolitik
5. Periksa foto torak
6. Pemeriksaan EKG
J. Konsep Dasar Keperawatan Asma
1. Data dasar pengkajian pasien menurut Doenges (1999)
a. Aktivitas / istirahat
Gejala : - Keletihan, kelelahan, malaise
- Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas
- Ketidakmampuan untuk tidur perlu tidur dalam posisi duduk tinggi
- Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan
Tanda : - Keletihan
- Gelisah, insomnia
- Kelemahan umum atau kehilangan massa otot
b. Sirkulasi
Gejala : Pembengkakan pada ektremitas bawah
Tanda : - Peningkatan TD
- Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia, berat, disritmia
- Distensi vena leher (penyakit berat)
- Pucat dapat menunjukkan anemia.
c. Integritas ego
Gejala : - Peningkatan faktor resiko
- Perubahan pola hidup
Tanda : - Ansietas
- Ketakutan
- Peka rangsang
d. Makan / cairan
Gejala : - Mual atau muntah
- Ketidakmampuan untuk makan karena distres pernapasan
Tanda : - Turgor kulit buruk
- Edema dependen
- Berkeringat
- Penurunan BB, penurunan massa otot/lemak subkutan (emifisema)
- Palpitasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali
e. Higiene
Gejala : Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari.
Tanda : Kebersihan buruk bau badan
f. Pernapasan
Gejala : Nafas pendek, cuaca atau episode berulangnya sulit napas, rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma)
Tanda : Ronchi, mengi sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan dan tak adanya bunyi napas
g. Keamanan
Gejala : - Riwayat alergi atau sensitif terhadap zat atau faktor lingkungan
- Adanya atau berulangnya infeksi
- Kemerahan atau berkeringat
h. Seksualitas
Gejala : Penurunan libido
i. Interaksi sosial
Gejala : - Hubungan ketergantungan, kurang sisi pendukung, kegagalan dukungan diri terhadap pasangan atau orang terdekat.
Tanda : - Ketidakmampuan untuk membuat atau mempertahankan suara
- Karena distress pernapasan, keterbatasan mobilitas fisik kelainan hubungan dengan anggota keluarga lain.
2. Diagnosa keperawatan menurut (Doengoes, 1999)
a. Bersihan jalan nafas, tidak efektif berhubungan dengan peningkatan sekret
b. Pertukaran gas, kerusakan berhubungan dengan gangguan suplai O2 (obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara).
c. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia atau mual, muntah.
3. Interaksi dan rasionalisasi (Dongoes : 1999)
a. Diagnosa I. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan sekret.
Kriteria hasil : (Carpenito, 1999)
1) Mencari posisi yang nyaman memudahkan peningkatan pertukaran udara.
2) Mendemonstrasikan batuk efektif
3) Menyatakan strategi menurunkan kekentalan sekresi
Menurut Donges : 1999
Intervensi Rasional
- Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas - Berapa derajat spasme bronkos terjadi dengan obstruksi jalan napas dan dapat atau tidak dimanifestasikan adanya bunyi nafas adventisius
- Kaji atau pantau frekuensi pernafasan - Takipnea ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stres/adanya infeksi akut
- Catat adanya atau derajat dipsnea - Disfungsi pernapasan adalah variabel yang tergantung tahap proses kronis selain proses akut yang menimbulkan perawatan di RS.
- Kaji pasien untuk posisi yang nyaman - Peninggian kepala pada tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi
- Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir - Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea
b. Diagnosa II. Pertukaran gas, kerusakan berhubungan dengan gangguan suplai O2 (obstruksi jalan napas oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara).
Kriteria hasil : menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan
Intervensi Rasional
- Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan - Berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan kronisnya proses penyakit
- Tinggikan kepala TT, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernapas - Pengiriman O2 dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalna nafas, dipsnea, dan kerja nafas
- Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa
- Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sektiar bibir atau daun telinga)
- Dorong mengeluarkan sputum penghisapan bila diindikasikan - Kental, tebal dan banyaknya sekresi adalah sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan nafas kecil. Penghisapan dibutuhkan bila batuk tidak efektif
- Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara - Bunyi napas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area konsolidasi
- Palpasi fremitus - Penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan ciaran oleh udara terjebak
- Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung - Takikardia, disritmia dan perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung
c. Diagnosa III. Nutrisi perubahan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual atau muntah.
Kriteria hasil : Menunjukkan peningkatan BB dan peningkatan nafsu makan.
Intervensi Rasional
- Kaji kebiasaan diet, masukan makan saat ini, catat derajat kesulitan makan, evaluasi berat badan dan ukuran tubuh - Pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena dispnea, produksi sputum dan obat.
- Auskultasi bunyi usus - Penurunan atau hipoaktif bising usus menunjukkan penurunan motilitas gaster dan konstipasi (komplikasi umum) yang berhubungan dengan pembatasan pemasukan cairan, pilihan makanan buruk, penurunan aktivitas, dan hipoksemia
- Dorong periode istirahat semalam 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan porsi kecil tapi sering - Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total
- Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat - Dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu napas abdomen dan gerakan diafragma dan dapat meningkatkan dipsnea
- Hindari makanan yang sangat panas atau sangat dingin - Suhu ekstrim dapat mencetuskan atau meningkatkan frekuensi batuk
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Richard, E., 1998, Ilmu Kesehatan Anak, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan, Alih bahasa : Monica Ester, Edisi VII, EGC, Jakarta.
Doengoes, M.E., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Keperawatan, EGC, Jakarta.
Ngastiyh, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta.
Read More
A. Pengertian
Asma adalah penyakit paru dengan ciri khas yakni saluran napas sangat mudah bereaksi terhadap berbagai rangsangan atau pencetus dengan manifestasi berupa serangan asma. Kelainan yang didapatkan adalah :
1. Otot bronkus akan mengerut (terjadi penyempitan)
2. Selaput lendir bronkus edema
3. Produksi lendir makin banyak lengket dan kental sehingga ketiga hal tersebut menyebabkan saluran lobang bronkus menjadi sempit dan anak akan batuk bahkan dapat sampai sesak nafas. Serangan demikian dapat hilang sendiri atau hilang dengan pertolongan obat.
(Ngastiyah, 1997)
Asma bronkial merupakan gangguan inflamasi kronik jalan nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi. dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi jalan napas, dan gejala pernapasan (mengi dan sesak) (Mansjoer, Arif, 2000).
B. Etiologi Asma
Penyebab asma masih belum jelas. Di duga yang memegang peranan utama ialah reaksi kelebihan dari trakhea dan bronkus (hiperaktivitas bronkus), yang belum jelas diketahui penyebabnya. Diduga karena adanya hambatan dari sebagian sistem adrenergik, kurangnya enzim adenilsiklae dan meningginya tonus sistem parasimpatik, sehingga mudah terjadinya kelebihan tonus parasimpatik kalau ada rangsangan yang menyebabkan terjadiya spasme bronkus. Banyak faktor yang ikut menentukan derajat reaktivitas atau iritabilitas tersebut di imunologis, infeksi, endokrin, faktor psikologis, oleh karena itu asma disebut penyakit yang multifaktoral (Ngastiyah, 1997).
Satu teori (szentivangi) menganggap asma terutama disebabkan oleh kelainan fungsi reseptor -adrenergik adenilat siklase, disertai penurunan respon adrenergik (Richard, 1988).
C. Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan. Gejala-gejala asma antara lain :
1. Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop
2. Batuk produktif, sering pada malam hari
3. Napas atau dada seperti tertekan
Gejalanya seperti paroksimal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk pada malam hari (Mansjoer, Arif : 2000).
Asma ditandai oleh adanya 3 kelainan yakni konstriksi otot bronkos inflamasi mukosa, dan bertambahnya konstriksi jalan nafas. Pada saat terjadi permukaan serangan terlihat mukosa pucat, terdapat edema dan sekresi bertambah. Lumen bronkus menyempit akibat spasme. Terlihat kongesti pembuluh darah, infiltrasi sel eosinofil dalam sekret di dalam lumen saluran nafas. Jika serangan sering terjadi dan lama atau menahun akan terlihat deskuamasi (mengelupas) epitel, penelaban membran hialin basal, hiperplasia serta elastin, juga hiperplasi dan hipertrofi otot bronkus. Pada serangan yang berat atau pada asma yang menahun terdapat penyumbatan bronkus oleh mukus yang kental (Ngastiyah, 1997).
D. Patofisiologi Asma
Tiga unsur yang ikut serta pada obstruksi jalan udara penderita asma adalah spasme otot polos; edema dan inflamasi membran mukosa jalan udara; dan eksudasi mukus intraluminal, sel-sel radang dan debris selular. Obstruksi menyebabkan pertambahan resistensi jalan udara, yang merendahkan ekspirasi paksa dan kecepatan aliran, penutupan prematur jalan udara, hiperinflasi paru, bertambahnya kerja pernapasan, perubahan sifat elastik dan frekuensi pernapasan. Walaupun obstruksi jalan udara bersifat difus, khas perbedaan 1 bagian dengan bagian lain paru. Ini berakibat perfusi bagian paru yang tidak cukup mendapat ventilasi dan menyebabkan kelainan gas-gas darah, terutama penurunan pO2. Pada permulaan serangan asma akut, pCO2 arteri biasanya menurun akibat hiperventilasi. Dengan memburuknya proses obstruksi, hipoventilasi alveolar menyebabkan kenaikan pCO2 dan bila kemampuan buffer habis, pH darah turun hipertensi pulmonal regangan ventrikel kanan, dan kegagalan pengisian ventrikel kiri mungkin terjadi (Richard, 1988).
E. Pathway Asma
Edema
Obstruksi jalan napas
Hipoventilasi
Ketidakseimbangan O2 dan CO2
Sesak nafas
Ketidakefektifan pola nafas
Gangguan rasa nyaman
Alergen (masuk melalui alat pernapasan)
Merangsang sel plasma menghasilkan IgE
IgE menempel pada reseptor dinding sel mast alergen menempel pada selmast tersensitisasi
Degranulasi
Mengeluarkan mediator seperti histamin, leukotrien, faktor pengaktivasi platelet, bradikinin
Peningkatan
permeabilitas
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
Hipoksia
Suplai O2 berkurang
Anoreksia
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
Peningkatan produksi mukus
Akumulasi sekret
Merangsang batuk
Perubahan pola
tidur
Sumber :
- Barata Wijaya (1990)
- Mansjoer (2000)
- Dongoes (1999)
- Junadi (1982)
F. Diagnosis Asma
Diagnosis asma berdasarkan :
1. Anamnesis : riwayat perjalanan penyakit, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap asma, riwayat keluarga dan riwayat adanya alergi, serta gejala klinis.
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium : darah (terutama eosinofil, IgE total, IgE spesifik), sputum (eosinofil, spiral carsman, kristal charcot-leyden).
4. Tes fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter untuk menentukan adanya obstruksi jalan nafas.
(Mansjoer, Arif, 2000)
G. Komplikasi Asma
1. Pneumotoraks
2. Pneumomediastinum dan emfisema subkutis
3. Atelektasis
4. Aspergilosis bronko pulmonar alergik
5. Gagal nafas
6. Bronkitis
7. Fraktur iga
(Mansjoer, Arif, 2000)
H. Pemeriksaan Diagnostik Asma
1. Uji faal paru. Uji faal paru dikerjakan untuk menentukan derajat obstruksi, menilai hasil provokasi bronkus, menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit. Alat yang digunakan adalah peak flow meter.
2. Foto toraks. Pada pasien asma yang telah kronik akan terlihat jelas adanya kelainan berupa hiperinvasi atau atelektasis.
3. Pemeriksaan darah. Hasilnya akan terdapat eosinofilia pada darah tepi dan sekret hidung. Selain itu juga dilakukan uji tuberkulin dan uji kulit dengan menggunakan alergen.
(Ngastiyah, 1997)
I. Penatalaksanaan Asma
1. Medis
a. Oksigen
b. Periksa keadaan gas darah dan pasang IVFD dengan cairan
2. Teofilin
3. Kortikosteroid (intravena)
4. Usaha pengenceran lendier dengan obat mukolitik
5. Periksa foto torak
6. Pemeriksaan EKG
J. Konsep Dasar Keperawatan Asma
1. Data dasar pengkajian pasien menurut Doenges (1999)
a. Aktivitas / istirahat
Gejala : - Keletihan, kelelahan, malaise
- Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas
- Ketidakmampuan untuk tidur perlu tidur dalam posisi duduk tinggi
- Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan
Tanda : - Keletihan
- Gelisah, insomnia
- Kelemahan umum atau kehilangan massa otot
b. Sirkulasi
Gejala : Pembengkakan pada ektremitas bawah
Tanda : - Peningkatan TD
- Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia, berat, disritmia
- Distensi vena leher (penyakit berat)
- Pucat dapat menunjukkan anemia.
c. Integritas ego
Gejala : - Peningkatan faktor resiko
- Perubahan pola hidup
Tanda : - Ansietas
- Ketakutan
- Peka rangsang
d. Makan / cairan
Gejala : - Mual atau muntah
- Ketidakmampuan untuk makan karena distres pernapasan
Tanda : - Turgor kulit buruk
- Edema dependen
- Berkeringat
- Penurunan BB, penurunan massa otot/lemak subkutan (emifisema)
- Palpitasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali
e. Higiene
Gejala : Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari.
Tanda : Kebersihan buruk bau badan
f. Pernapasan
Gejala : Nafas pendek, cuaca atau episode berulangnya sulit napas, rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma)
Tanda : Ronchi, mengi sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan dan tak adanya bunyi napas
g. Keamanan
Gejala : - Riwayat alergi atau sensitif terhadap zat atau faktor lingkungan
- Adanya atau berulangnya infeksi
- Kemerahan atau berkeringat
h. Seksualitas
Gejala : Penurunan libido
i. Interaksi sosial
Gejala : - Hubungan ketergantungan, kurang sisi pendukung, kegagalan dukungan diri terhadap pasangan atau orang terdekat.
Tanda : - Ketidakmampuan untuk membuat atau mempertahankan suara
- Karena distress pernapasan, keterbatasan mobilitas fisik kelainan hubungan dengan anggota keluarga lain.
2. Diagnosa keperawatan menurut (Doengoes, 1999)
a. Bersihan jalan nafas, tidak efektif berhubungan dengan peningkatan sekret
b. Pertukaran gas, kerusakan berhubungan dengan gangguan suplai O2 (obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara).
c. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia atau mual, muntah.
3. Interaksi dan rasionalisasi (Dongoes : 1999)
a. Diagnosa I. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan sekret.
Kriteria hasil : (Carpenito, 1999)
1) Mencari posisi yang nyaman memudahkan peningkatan pertukaran udara.
2) Mendemonstrasikan batuk efektif
3) Menyatakan strategi menurunkan kekentalan sekresi
Menurut Donges : 1999
Intervensi Rasional
- Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas - Berapa derajat spasme bronkos terjadi dengan obstruksi jalan napas dan dapat atau tidak dimanifestasikan adanya bunyi nafas adventisius
- Kaji atau pantau frekuensi pernafasan - Takipnea ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stres/adanya infeksi akut
- Catat adanya atau derajat dipsnea - Disfungsi pernapasan adalah variabel yang tergantung tahap proses kronis selain proses akut yang menimbulkan perawatan di RS.
- Kaji pasien untuk posisi yang nyaman - Peninggian kepala pada tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi
- Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir - Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea
b. Diagnosa II. Pertukaran gas, kerusakan berhubungan dengan gangguan suplai O2 (obstruksi jalan napas oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara).
Kriteria hasil : menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan
Intervensi Rasional
- Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan - Berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan kronisnya proses penyakit
- Tinggikan kepala TT, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernapas - Pengiriman O2 dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalna nafas, dipsnea, dan kerja nafas
- Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa
- Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sektiar bibir atau daun telinga)
- Dorong mengeluarkan sputum penghisapan bila diindikasikan - Kental, tebal dan banyaknya sekresi adalah sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan nafas kecil. Penghisapan dibutuhkan bila batuk tidak efektif
- Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara - Bunyi napas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area konsolidasi
- Palpasi fremitus - Penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan ciaran oleh udara terjebak
- Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung - Takikardia, disritmia dan perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung
c. Diagnosa III. Nutrisi perubahan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual atau muntah.
Kriteria hasil : Menunjukkan peningkatan BB dan peningkatan nafsu makan.
Intervensi Rasional
- Kaji kebiasaan diet, masukan makan saat ini, catat derajat kesulitan makan, evaluasi berat badan dan ukuran tubuh - Pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena dispnea, produksi sputum dan obat.
- Auskultasi bunyi usus - Penurunan atau hipoaktif bising usus menunjukkan penurunan motilitas gaster dan konstipasi (komplikasi umum) yang berhubungan dengan pembatasan pemasukan cairan, pilihan makanan buruk, penurunan aktivitas, dan hipoksemia
- Dorong periode istirahat semalam 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan porsi kecil tapi sering - Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total
- Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat - Dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu napas abdomen dan gerakan diafragma dan dapat meningkatkan dipsnea
- Hindari makanan yang sangat panas atau sangat dingin - Suhu ekstrim dapat mencetuskan atau meningkatkan frekuensi batuk
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Richard, E., 1998, Ilmu Kesehatan Anak, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan, Alih bahasa : Monica Ester, Edisi VII, EGC, Jakarta.
Doengoes, M.E., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Keperawatan, EGC, Jakarta.
Ngastiyh, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta.
Berhadapan dengan Perasaan Marah (Angry).
Marah bisa menyebabkan masalah atau gangguan kesehatan fisik yang serius seperti penyakit jantung. Marah juga bisa membuat anda bertindak dengan cara-cara yang menyebabkan anda kehilangan pekerjaan, teman atau putusnya hubungan perkawinan anda. Anda bisa menghadapi kemarahan anda ketika rasa marah terjadi dan anda bisa merubah pendekatan anda untuk hidup.
Perasaan marah adalah suatu reaksi normal untuk beberapa situasi-situasi yang tidak bisa anda kendalikan (di luar kontrol). Terkadang, marah merupakan suatu indikasi dari stress yang berlebihan. Sulit untuk mengetahui apakah anda sebaiknya membiarkan kemarahan atau kemarahan perlu perhatian lebih untuk dihilangkan.
Marah adalah suatu masalah yang serius yang memerlukan perhatian khusus jika:
- Secara konstan ada dalam pikiran anda selama berminggu-minggu pada suatu waktu dan hal ini membuat anda tidak mungkin merasa enak dan enjoy dalam hidup anda.
- Disebabkan oleh sesuatu hal yang terjadi pada masa yang lalu.
- Menyebabkan anda melakukan hal-hal dengki, irihati, dendam.
- Membuat anda bertingkah laku dan bertindak kasar terhadap orang lain atau diri anda sendiri.
- Mengganggu atau bertentangan dengan kesanggupan anda melakukan perkerjaan.
- Merusak hubungan anda dengan pasangan anda, keluarga atau teman-teman anda.
Solusi jangka pendek menghadapi rasa marah:
- Mengakui bahwa anda sedang marah. Dengan menyangkal perasaan-perasaan marah, perasaan-perasaan itu tidak akan hilang, malahan rasa marah tersebut akan tetap muncul kembali dengan cara-cara yang tidak sesuai atau tepat.
- Cobalah untuk tidak bertingkah laku dan bertindak berlebihan. Pikirkan tentang apakah situasi itu benar-benar seburuk kelihatannya. Bagaimana perasaan anda jika anda melihat seseorang bereaksi seperti yang anda alami pada situasi seperti ini.
- Paksa perhatian anda pada pemikiran yang lebih menyenangkan, sebagai contoh liburan yang menyenangkan, daripada lalu lintas yang padat penuh polusi atau apapun yang membuat anda marah.
- Identifikasi dan kenali sumber penyebab kemarahan anda. Apakah kemarahan anda bersumber dari tindakan atau kata-kata orang lain yang menyakiti anda? Jika benar demikian, cobalah untuk menghadapinya dengan orang tersebut dengan damai, cara yang produktif agar sampai pada mereka untuk bisa memahami mengapa anda marah.
- Dengarkan dengan penuh perhatian dan hati-hati, tanpa menyela orang lain, dengan demikian anda dapat memahami apa yang orang lain coba jelaskan kepada anda.
Solusi jangka panjang menghadapi rasa marah.
- Cari tahu dan temukan dari pengalaman orang lain yang pernah mengalami hal yang sama, bagaimana mereka menghadapi hal-hal diluar kontrol diri mereka seperti kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya.
- Hindari menyalahkan diri anda sendiri sekalipun anda sendiri yang menjadi penyebab kemalangan anda sendiri karena sebuah kesalahan. Cobalah belajar dari kesalahan anda sehingga anda tidak berbuat kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.
- Kurangi ketegangan dengan meluangkan waktu untuk aktifitas fisik-berolahraga. Marah adalah jalan keluar atau saluran fisik dari semua energi yang dikeluarkan sebagai hasil dari reaksi stress. Oleh sebab itu temukan cara yang lebih produktif untuk mengeluarkan energi/tenaga tersebut.
- Kurangi tingkat stress anda. Gunakan teknik-teknik manajemen stress dan cobalah meluangkan waktu untuk hal-hal yang lebih membuat anda enjoy dan senang.
- Belajar bermeditasi. Ini bukanlah semistik (gaib) yang anda pikirkan. Apabila anda belajar mengontrol pemikiran anda ketika anda tidak marah hal ini akan membantu anda mempertahankan dan menjaga kontrol ketika anda marah.
- Tertawakan diri anda sendiri. Apabila anda dapat melihat sisi lucu atau funny dari sebuah situasi sulit anda dapat tertawa itu lebih baik daripada menyerang/memukul.
- Belajar percaya kepada kemampuan orang lain dan rasa hormat (respect) bahwa kita semua mempunyai kualitas dan kemampuan yang berbeda-beda. Sebagian dari kemarahan anda mungkin datang dari kurangnya keyakinan atau kepercayaan akan kemampuan orang lain.
- Bicaralah dengan seseorang yang anda percaya, anggota keluarga dekat, teman atau seorang ahli spiritual yang bisa membantu anda melihat hal-hal dengan perspektif yang berbeda.
- Dapatkan bantuan dari ahlinya. Apabila masalah-masalah anda sangat serius mungkin anda memerlukan bantuan dari seorang konsultan kesehatan mental professional.
TERAPI AKTIFITAS KELOMPOK
A. TOPIK
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) : Sosialisasi (TAKS) adalah upaya memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial antara klien maupun dengan perawat.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Membantu klien meningkatkan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain.
2. Tujuan Khusus
a. Klien dapat menyebutkan identitas dirinya; nama lengkap, nama panggilan yang disukai
Read More
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) : Sosialisasi (TAKS) adalah upaya memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial antara klien maupun dengan perawat.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Membantu klien meningkatkan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain.
2. Tujuan Khusus
a. Klien dapat menyebutkan identitas dirinya; nama lengkap, nama panggilan yang disukai
SATUAN ACARA PENYULUHAN KEP.JIWA
Bidang studi : Keperawatan Jiwa
Topik : Cara Mencuci Rambut
Sasaran : Pasien di ruang kelas III wanita/ruang Intan RSUD Dr. H. Moch.
Ansari Saleh Banjarmasin
Tempat : ruang kelas III wanita/ruang Intan RSUD Dr. H. Moch. Ansyari
Saleh Banjarmasin
Hari/Tanggal : Sabtu, 13 Juni 2009
Waktu : 1 X 30 Menit
I. TOPIK.
Cara mencuci rambut
Read More
Topik : Cara Mencuci Rambut
Sasaran : Pasien di ruang kelas III wanita/ruang Intan RSUD Dr. H. Moch.
Ansari Saleh Banjarmasin
Tempat : ruang kelas III wanita/ruang Intan RSUD Dr. H. Moch. Ansyari
Saleh Banjarmasin
Hari/Tanggal : Sabtu, 13 Juni 2009
Waktu : 1 X 30 Menit
I. TOPIK.
Cara mencuci rambut
POST EDITOR BARU DI BLOGGER
bloggerSebagai bagian perayaan ulang tahun Blogger.com ke 10, beberapa fitur baru mulai diluncurkan. Antara lain adalah Post Editor baru dengan penambahan beberapa fungsi seperti peningkatan kemampuan pengelolaan gambar dan penggunaan html.
Untuk mengaktifkan silakan menuju Dashboard Blogger Anda kemudian pilih Setting – Basic – scroll kebawah maka ada Global Setting. Di Select post editor pilih
Read More
Untuk mengaktifkan silakan menuju Dashboard Blogger Anda kemudian pilih Setting – Basic – scroll kebawah maka ada Global Setting. Di Select post editor pilih
Mutu Pelayanan Kebidanan Kurangnya Akses Pelayanan pada Remaja (Pelayanan Youth Friendly) Oleh Petugas Kesehatan
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pad penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ Kurangnya Akses Pelayanan pada Remaja (Pelayanan Youth Friendly) oleh Tenaga Kesehatan.
Penulis merasa makalah ini masuh jauh dari kesempurnaan.Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber bacaan yang bermanfaat dan dapat digunakan sebaik-baikny.
Padang, Januari 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Perumusan Masalah
1.3. Tujuan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Remaja
2.1.1. Pengertian
2.1.2. Transisi yang Dihadapi pada Masa Remaja
2.1.3. Faktor yang Menjadi Masalah pada Remaja
2.1.4. Kesehatan Remaja
2.2. Mutu Pelayanan Kesehatan
2.2.1. Pengertian
2.2.2. Dimensi Mutu
2.2.3. Prinsip Perbaikan Mutu
BAB III PEMBAHASAN
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, dan juga merupakan negara yang padat akan penduduknya. Penduduk dipelajari oleh ilmu kependudukan yang terdiri atas demografi dan studi kependudukan. Demografi sering pula di definisikan sebagai suatu studi kuantitatif dari lima proses demografi yaitu; fertilitas, mortalitas, perkawinan, migrasi dan morbilitas sosial. Beberapa indikator demografi yang sering kita temui diantaranya jumlah penduduk, komposisi penduduk menurut jenis kelamin, umur, suku bangsa, pendidikan, agama, pekerjaan, dan proses domografi yang mempengaruhi jumlah dan komposisi penduduk.
Sebagai suatu negara berkembang, Indonesia juga tidak luput dari masalah kependudukan. Secara garis besar masalah-masalah pokok di bidang kependudukan yang dihadapi Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dan laju pertumbuhan penduduk yang relatif masih tinggi, persebaran penduduk yang tidak merata, struktur umur muda, dan kualitas penduduk yang masih harus ditingkatkan.
Pada tahun 2005, 30% dari jumlah penduduk Indonesia adalah remaja. Remaja adalah kelompok penduduk yang berusia 10-19 tahun (menurut WHO dan DEPKES) atau kelompok penduduk yang berusia 10-24 tahun (menurut UNFPA) dan belum menikah. Sebagian remaja sudah mengalami pematangan organ reproduksi dan bisa berfungsi atau bereproduksi, namun secara sosial, mental, dan emosi mereka belum dewasa. Remaja akan mengalami banyak masalah apabila pendidikan dan pengasuhan seksualitas reproduksi mereka terabaikan.
Akibatnya banyak terjadi IMS, kehamilan dini, kehamilan yang tidak diinginklan, dan usaha aborsi yang tidak aman diantara mereka.
Fakta yang terbaru menyebutkan bahwa
· 15% remaja sudah melakukan hubungan seks diluar nikah.
· Jumlah penderita HIV-AIDS pada akhir tahun 2005 sebanyak 46,19% adalah jumlah remaja diman 43,5% terinfeksi melalui hubungan seks yang tidak aman dan 50% tertular lewat jarum suntik.
· 60% dari pekerja seks di Indonesia adalah remaja perempuan berusia 24 tahun atau dari 30%nya adalh mereka yang berumur 15 tahun atau kurang.
· 20% dari 2,3 juta kasus aborsi setiap tahun di Indonesia dilakukan oleh remaja dan mereka mendapatkan tindakan aborsi tidak aman serta menyebabkan komplikasi yang dapat membawa mereka pada kematian.
Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa aspek diantaranya informasi yang tepat tentang masalah seksual dan reproduksi bagi remaja sangat kurang dan akses pelayanan yang bersifat youth friendly juga tidak memadai, bahkan tidak ada. Kemudian kurangnya pengetahuan dan komitmen petugas kesehatan untuk menangani masalah remaja dan terbatasnya fasilitas, membuat remaja tidak pernah mendapat perlindungan dan pemeliharaan dengan tepat.
Berdasarkan uraian di atas penulis berminat untuk membuat makalah dengan judul “Kurangnya Akses Pelayanan pada Remaja (Pelayanan Youth Friendly) oleh Petugas Kesehatan”.
1.2. Perumusan Masalah
Bagaimana Kurangnya Akses Pelayanan pada Remaja (Pelayanan Youth Friendly) oleh Petugas Kesehatan.
1.3. Tujuan
Diketahui bagaimana Kurangnya Akses Pelayanan pada Remaja Pelayanan Youth Friendly) oleh Petugas Kesehatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Remaja
2.1.1. Pengertian
☺ Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Di masa remaja manusia tidak dapat disebut sudah dewasa tetapi tidak dapat pula disebut anak - anak. Masa remaja adalah masa peralihan manusia dari anak - anak menuju dewasa (http://www.sciencedaily).
☺ Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun sampai 21 tahun (http://www.mediaindo.co.id/).
☺ Remaja adalah individu, baik laki-laki maupun perempuan, yang sedang berada di tengah-tengah masa transisi dari anakanak menuju dewasa. Menurut klasifikasi World Health Organization (WHO), kelompok umur ini berada pada usia antara 10 sampai 19 tahun.
☺ (UNICEF) mengatakan bahwa orang muda adalah antara umur 15 dan 24 tahun (istilah “orang muda” merujuk kepada penggabungan kelompok umur 10-24 tahun).
2.1.2. Transisi yang Dihadapi pada Masa Remaja
1. Transisi dalam Emosi
Ciri utama remaja adalah peningkatan kehidupan emosinya, dalam arti sangat peka, mudah tersinggung perasaannya. Remaja dikatakan berhasil melalui masa transisi emosi apabila ia berhasil mengendalikan diri dan mengekspresikan emosi sesuai dengan kelaziman pada lingkungan sosialnya tanpa mengabaikan keperluan dirinya.
2. Transisi dalam Sosialisasi
Pada masa remaja hal yang terpenting dalam proses sosialisasinya adalah hubungan dengan teman sebaya, baik dengan sejenis maupun lawan jenis.
3. Transisi dalam Agama
Sering terjadi remaja yang kurang rajin melaksanakan ibadah seperti pada masa kanak-kanak. Hal tersebut bukan karena melunturnya kepercayaan terhadap agama, tetapi timbul keraguan remaja terhadap agama yang dianutnya sebagai akibat perkembangan berfikirnya yang mulai kritis. .
4. Transisi dalam Hubungan Keluarga
Dalam satu keluarga yang terdapat anak remaja, sulit terjadi hubungan yang harmonis dalam keluarga tersebut. Keadaan ini disebabkan remaja yang banyak menentang orang tua dan biasanya cepat menjadi marah. Sedangkan orang tua biasanya kurang memahami ciri tersebut sebagai ciri yang wajar pada
5. Transisi dalam Moralitas
Pada masa remaja terjadi peralihan moralitas dari moralitas anak ke moralitas remaja yang meliputi perubahan sikap dan nilai-nilai yang mendasari pembentukan konsep moralnya. Sehingga sesuai dengan moralitas dewasa serta mampu mengendalikan tingkah lakunya sendiri.
2.1.3. Faktor yang Menjadi Masalah pada Remaja
1. Adanya perubahan-perubahan biologis dan psikologis yang sangat pesat pada masas remaja yang akan memberikan dorongan tertentu yang sifatnya sangat kompleks.
2. Orangtua dan pendidik kurang siap untuk memberikan informasi yang benar dan tepat waktu, karena ketidaktahuannya.
3. Perbaikan gizi yang menyebabkan menais menjadi lebih dini. Banyaknya kejadian kawin muda terutama didaerah pedesaan. Sebaiknya di kota, kesempatan untuk bersekolah dan bekerja menjadi lebih terbuka bagi wanita dan usia kawin makin bertambah. Kesenjangan antara menais dan umur kawin yang panjang, apalagi dalam suasana pergaulan yang makin bebas tidak jarang menimbulkan masalah bagi remaja.
4. Membaiknya sarana komunikasi dan transportasi akibat kemajuan teknologi menyebabkan membanjirkan arus informasi dari luar yang sulit sekali diseleksi.
5. Pembangunan kearah industrialisasi disertai dengan pertambahan penduduk menyebabkan maningkatnya urbanisasi, berkurangnya sumber daya alam dan terjadinya perubahan tata nilai. Ketimpangan sosial dan individualisme sering kali memicu terjadinya perubahan konflik perorangan maupun kelompok lapangan kerja yang kurang memadai dapat memberikan dampak yang kurang baik bagi remaja sehingga remaja akan menderita frustasi dan depresi yang akan menyebabkan mereka mengambil jalan pintas dengan tindakan yang bersifat negatif.
6. Kurangnya pemanfaatan penggunaan sarana untuk menyalurkan gejolak remaja. Perlu adanya penyaluran sebagai subtitusi yang bersifat positif kearah pengembangan keterampilan yang mengandung unsur kecepatan dan kekuatan, misalnya olahraga.
2.1.4. Kesehatan Remaja
a. Kesehatan Fisis
Sebab-sebab morbiditas utama dalam masa adolesen adalah akibat dari tingkah laku yang berbahaya yaitu :
Penggunaan bahan-bahan psikotropika, aktivitas seksual, dan kendaraan bermotor dengan akibat-akibat jangka pendek dan jangka panjang. Selain itu juga penyakit seperti akne yang merupakan masalah kulit yang paling mengganggu remaja dan ditemukan pada 80% remaja. Penyakit ini merupakan gangguan pada kelenjar pilosebaseus yang ditandai dengan sumbatan dan peradangan folikel. Akne berkaitan dengan masalah kebersihan kulit, pola makan, hormonal, psikologis, dan infeksi bakteri. Gangguan kesehatan lainnya yaitu gangguan pada mata yaitu miop dan cidera, gangguan pendengaran yaitu konduktif, sensorineural, dan bentuk campuran, dan karles dentis
b. Masalah Perilaku
ò Pemakaian narkotik dan zat aditif lain (NAZA) secara umum penggunaan NAZA pada remaja merupakan resiko untuk menggunakan substansi lain. Dimulai dengan merokok atau alkohol kemudian disusul dengan pemakaian mariyuana, kemudian obat-obat lainnya termasuk heroin, kokain, sedative, stimulant, dan lain-lain
ò Perilaku yang menyebabkan kecelakaan. Sebab utama kematian dalam masa remaja adalah cidera pada kecelakaan yang berkaitan dengan tingkah laku yang berbahaya, pembunuhan atau bunuh diri.
c. Aktifitas Seksual
V Hubungan Seksual Sebelum Menikah
Penelitian yang dilakukan oleh Puslit Ekologi Kesehatan Badan Litbang Kesehatan Depkes RI Tahun 1990 terhadap siswa-siswa SMA di Jakarta dan Yogyakarta menyebutkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah adalah membaca buku porno dan menonton blue film.
V Kaum Muda
Usia wanita saat perkawinan pertama dapat mempengaruhi resiko kelahiran. Semakin muda usia saat perkawinan pertama semakin besar resiko yang dihadapi bagi keselamatan ibu maupun anak.
V Penyakit Menular Seksual.
Prevalensi PMS mencapai puncaknya pada masa remaja akhir dan awal dewasa, kemudian menurun dengan cepat dengan semakin bertambahnya umur. Pada remaja pria kasus terbanyak adalah uretritis gonore dan wanita adalah bacterial vaginosis.
2.2. Mutu Pelayanan Kesehatan
2.2.1. Pengertian
£ Mutu adalah kecocokan penggunaan produk (fitnes for use) untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan (juran). Kecocokan penggunaan tersebut didasarkan atas lima ciri utama; teknologi (kekuatan dan daya tahan), psikologis (citra rasa atau status), waktu (kehandalan), kontraktual (adanya jaminan), dan etika (sopan santun, ramah, atau jujur).
£ Mutu adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia atau tenaga kerja, proses dantugas, serta lingkungan yang memenuhi atau memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen.
£ Mutu pelayanan kesehata adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan (Azrul Azwar).
2.2.2. Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan Menurut Azrul Azwar
1. Kompetensi Teknik (Technical Competence)
Keterampilan, kemampuan, dan penampilan petugas, manajer, dan staf pendukung. Kompetensi teknis berhubungan dengan bagaimana cara petugas mengikuti standar pelayanan yang telah di tetapkan.
2. Akses Terhadap Pelayanan (Accessibility)
Tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial ekonomi, budaya, organisasi, atau hambatan bahasa.
a. Geografis, dapat di ukur dengan jenis trnsportasi, jarak, waktu, dan perjalanan.
b. Akses ekonomi, berkaitan dengan kemampuan memberikan pelayanan kesehatan yang pembiayaannya terjangkau pasien.
c. Akses sosial atau budaya, berkaitan dengan diterimanya pelayanan yang dikaitkan dengan nilai budaya, kepercayaan dan perilaku.
d. Akses organisasi, berkaitan dengan sejauh mana pelayanan di atur untuk kenyamanan pasien, jam kerja klinis, waktu tunggu.
e. Aksese bahasa, pelayanan diberikan dalam bahasa atau dialek setempat yang dipahami pasien.
3. Efektifitas (Effectiveness)
Kualitas pelayanan kesehatan tergantung dari efektifitas yang menyangkut norma pelayanan kesehatan dan petunjuk klinis sesuai dengan standar yang ada.
4. Hubungan Antar Manusia (Interpersonal Relation)
Berkaitan dengan interaksi antara petugas kesehatan dengan pasien, manjer dan petugas, dan antara tim kesehatan dengan masyarakat.
5. Efisiensi (Efficiency)
Pelayanan yang efisien akan memberikan perhatian yang optimal daripada memaksimalkan pelayanan kepada pasien dan masyarakat. Petugas akan memberikan pelayanan yang terbaik dengan sumber daya yang dimiliki.
6. Kelangsungan Pelayanan (Continuity)
Pasien akan menerima pelayanan yang lengkap yang dibutuhkan termasuk rujukan tanpa interupsi, berhenti atau mengulangi prosedur, diagnosa dan terapi yang tidak perlu.
7. Keamanan (Safety)
Mengurangi resiko cedera, infeksi, efek samping, atau bahaya lain yang berkaitan dengan pelayanan.
8. Kenyamanan (Amnieties)
Berkaitan dengan pelyanan kesehatan yang tidak berhubungan langsung dengan efektifitas klinis, tetapi dapat mempengaruhi kepuasan pasien dan bersedianya untuk kembali ke fasilitas kesehatan untuk memperoleh pelayanan berikutnya.
2.2.3. Prinsip Perbaikan Mutu
1. Keinginan untuk Berubah
· Tidak hanya menemukan praktek yang tidak benar
· Nyatakan secara terbuka keingina untuk bekerja dalam kemitraan untuk meningkatkan hasil pelayanan.
2. Mendefinisikan Kualitas
Kemampuan pelayanan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
3. Mengukur Kualitas
· Menggunakan metode statistik yang tepat untuk menafsirkan hasil pengukuran.
· Perlu informasi atas proses, kebutuhan pelanggan, dan kualitas penyedia.
4. Memahami Saling Ketergantungan
Fragmentasi tanggung jawab akan menimbulkan suboptimaze “saya bekerja dengan baik yang lain tidak”.
5. Memahami Sistem
Kesalahan yang terjadi disebabkan oleh sistem (85%) dan manusia (15%).
6. Investasi dalam Belajar
Seluruh pakar menekankan pentingnya pelatihan atau pembelajaran. Mencari penyebab lalu mendapatkan pengalaman untuk perbaikan.
7. Mengurangi Biaya
Mengurangi kerja sia-sia, duplikasi, komplrksitas yang tak perlu.
8. Komitmen Pemimpin
Menunjukkan segala sesuatu baik itu dengan kata-kata maupun perbuatan atas komitmen yang telah ditetapkan terutama untuk mutu.
BAB III
PEMBAHASAN
Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Di masa remaja manusia tidak dapat disebut sudah dewasa tetapi tidak dapat pula disebut anak - anak. Masa remaja adalah masa peralihan manusia dari anak - anak menuju dewasa (http://www.sciencedaily). Sebagian remaja sudah mengalami pematangan organ reproduksi dan bisa berfungsi atau bereproduksi, namun secara sosial, mental, dan emosi mereka belum dewasa. Remaja akan mengalami banyak masalah apabila pendidikan dan pengasuhan seksualitas reproduksi mereka terabaikan.
Akibatnya banyak terjadi IMS, kehamilan dini, kehamilan yang tidak diinginklan, dan usaha aborsi yang tidak aman diantara mereka. Remaja merupakan kelompok marginal dan kesalahan yang mereka lakukan dianggap aib oleh masyarakat sehingga persoalan reproduksi remaja di Indonesia tidak diperhitungkan oleh pembuat kebijakan.
Hal ini juga disebabkan oleh beberapa aspek diantaranya informasi yang tepat tentang masalah seksual dan reproduksi bagi remaja sangat kurang dan akses pelayanan yang bersifat youth friendly juga tidak memadai, bahkan tidak ada. Kemudian kurangnya pengetahuan dan komitmen petugas kesehatan untuk menangani masalah remaja dan terbatasnya fasilitas, membuat remaja tidak pernah mendapat perlindungan dan pemeliharaan dengan tepat.
Dari hal di atas dapat dilihat dimana salah satu atau beberapa dimensi mutu pelayanan kesehatan tidak berjalan dengan baik. Maka disini dimensi pelayanan kesehatan yang disorot yaitu mengenai dimensi efisien dan kenyamanan. Dimana kurang efisiennya kinerja tenaga kesehatan dalam menangani masalah remaja, kemudian berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang tidak berhubungan langsung dengan efektifitas klinis yang dapat mempengaruhi kepuasan pasien (remaja), sehingga remaja tidak bersedia lagi untuk kembali ke fasilitas kesehatan untuk memperoleh pelayanan berikutnya.
Untuk itu disini perlu adanya peran dari pengambil kebijakan dan petugas kesehatan dalam menangani masalah ini, diantaranya :
V Perlu dikaji ulang bagaimana peraturan maupun undang-undang yang ada (UU No. 23 Tentang Kesehatan, UU No. 10 Tentang Kependidikan dan isi KUHP), aspek sosial, adat, dan budaya masyarakat yang pada banyak hal akan menghambat pemberian pelayan pada remaja.
V Petugas kesehatan baik pemerintah, swasta, dan LSM yang punya komitmen terhadap kesehatan remaja, perlu memahami bahasa dan perilaku remaja agar dapat memberikan pelayanan yang tepat sesuai dengan karakteristik dan keinginan remaja.
V Pelayanan konseling juga diperlukan sebelum memberikan pelayanan kepada remaja, agar hak mereka untuk mendapatkan informasi dan pelayanan dapat terpenuhi, yang pada akhirnya remaja dapat terhindar dari IMS, HIV-AIDS, kehamilan tidak di inginkan dan usaha aborsi tidak aman. Pemberian pelayanan ini sebaiknya juga diberikan dala satu paket dengan pendidikan kespro bagi remaja.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
a. Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Di masa remaja manusia tidak dapat disebut sudah dewasa tetapi tidak dapat pula disebut anak - anak. Masa remaja adalah masa peralihan manusia dari anak - anak menuju dewasa (http://www.sciencedaily).
b. Remaja akan mengalami banyak masalah apabila pendidikan dan pengasuhan seksualitas reproduksi mereka terabaikan. Akibatnya banyak terjadi IMS, kehamilan dini, kehamilan yang tidak diinginklan, dan usaha aborsi yang tidak aman diantara mereka.
c. Mutu pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan (Azrul Azwar).
d. Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa aspek diantaranya informasi yang tepat tentang masalah seksual dan reproduksi bagi remaja sangat kurang dan akses pelayanan yang bersifat youth friendly juga tidak memadai, bahkan tidak ada. Kemudian kurangnya pengetahuan dan komitmen petugas kesehatan untuk menangani masalah remaja dan terbatasnya fasilitas, membuat remaja tidak pernah mendapat perlindungan dan pemeliharaan dengan tepat.
e. Untuk itu disini perlu adanya peran dari pengambil kebijakan dan petugas kesehatan dalam menangani masalah ini, diantaranya :
V Perlu dikaji ulang bagaimana peraturan maupun undang-undang yang ada, aspek sosial, adat, dan budaya masyarakat yang pada banyak hal akan menghambat pemberian pelayan pada remaja.
V Petugas kesehatan baik pemerintah, swasta, dan LSM yang punya komitmen terhadap kesehatan remaja, memahami bahasa dan perilaku remaja agar dapat memberikan pelayanan yang tepat sesuai dengan karakteristik dan keinginan remaja.
V Pelayanan konseling sebelum memberikan pelayanan kepada remaja, agar hak mereka untuk mendapatkan informasi dan pelayanan dapat terpenuhi, yang pada akhirnya nanti remaja dapat terhindar dari IMS, HIV-AIDS, kehamilan tidak di inginkan dan usaha aborsi tidak aman. Pemberian pelayanan ini sebaiknya juga diberikan dala satu paket dengan pendidikan kespro bagi remaja.
4.2. Saran
Diharapkan kepada pembaca agar dapat memahami bagaimana Kurangnya Akses Pelayanan pada Remaja (Pelayanan Youth Friendly) oleh Petugas Kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Prawirohardjo, Sarwono. 2005
Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustak
Bari Syaifuddin, dkk. 2006
Panduan Praktis Pelayanan Kotrasepsi. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Supriadi. 2004
Kespro Modul Siswi. Jakarta : Yayasan Pendidikan Kesehatan Perempuan
Jurnal : Kohler PK, Manhart LE, Lafferty WE. 2008
Abstinence-only and comprehensive sex education and the initiation of sexual activity and teen pregnancy. J Adolesc Health 42(4)
Wijono, Djoko Haji.2000
Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
Blog Archive
-
2016
(1)
- 09/18 - 09/25 (1)
-
2015
(10)
- 10/11 - 10/18 (1)
- 09/13 - 09/20 (1)
- 09/06 - 09/13 (1)
- 07/05 - 07/12 (1)
- 05/17 - 05/24 (6)
-
2014
(1)
- 04/13 - 04/20 (1)
-
2012
(770)
- 02/19 - 02/26 (5)
- 02/12 - 02/19 (10)
- 02/05 - 02/12 (4)
- 01/29 - 02/05 (27)
- 01/22 - 01/29 (88)
- 01/15 - 01/22 (101)
- 01/08 - 01/15 (169)
- 01/01 - 01/08 (366)
-
2011
(4478)
- 12/25 - 01/01 (336)
- 12/18 - 12/25 (62)
- 12/11 - 12/18 (70)
- 12/04 - 12/11 (77)
- 11/27 - 12/04 (40)
- 11/20 - 11/27 (67)
- 11/13 - 11/20 (198)
- 11/06 - 11/13 (187)
- 10/30 - 11/06 (340)
- 10/23 - 10/30 (32)
- 10/16 - 10/23 (109)
- 10/09 - 10/16 (80)
- 08/14 - 08/21 (75)
- 08/07 - 08/14 (81)
- 07/31 - 08/07 (82)
- 07/24 - 07/31 (66)
- 07/17 - 07/24 (91)
- 07/10 - 07/17 (47)
- 07/03 - 07/10 (44)
- 06/26 - 07/03 (53)
- 06/19 - 06/26 (59)
- 06/12 - 06/19 (47)
- 06/05 - 06/12 (65)
- 05/29 - 06/05 (63)
- 05/22 - 05/29 (77)
- 05/15 - 05/22 (115)
- 05/08 - 05/15 (65)
- 05/01 - 05/08 (104)
- 04/24 - 05/01 (45)
- 04/17 - 04/24 (70)
- 04/10 - 04/17 (134)
- 04/03 - 04/10 (72)
- 03/27 - 04/03 (18)
- 03/20 - 03/27 (47)
- 03/13 - 03/20 (68)
- 03/06 - 03/13 (40)
- 02/27 - 03/06 (56)
- 02/20 - 02/27 (77)
- 02/13 - 02/20 (76)
- 02/06 - 02/13 (198)
- 01/30 - 02/06 (194)
- 01/23 - 01/30 (132)
- 01/16 - 01/23 (196)
- 01/09 - 01/16 (202)
- 01/02 - 01/09 (121)
-
2010
(2535)
- 12/26 - 01/02 (156)
- 12/19 - 12/26 (65)
- 12/12 - 12/19 (73)
- 12/05 - 12/12 (84)
- 11/28 - 12/05 (80)
- 11/21 - 11/28 (68)
- 11/14 - 11/21 (63)
- 11/07 - 11/14 (50)
- 10/31 - 11/07 (50)
- 10/24 - 10/31 (36)
- 10/17 - 10/24 (58)
- 10/10 - 10/17 (35)
- 10/03 - 10/10 (31)
- 09/26 - 10/03 (21)
- 09/19 - 09/26 (26)
- 09/12 - 09/19 (55)
- 09/05 - 09/12 (65)
- 08/29 - 09/05 (33)
- 08/22 - 08/29 (70)
- 08/15 - 08/22 (45)
- 08/08 - 08/15 (35)
- 08/01 - 08/08 (37)
- 07/25 - 08/01 (27)
- 07/18 - 07/25 (19)
- 07/11 - 07/18 (30)
- 07/04 - 07/11 (56)
- 06/27 - 07/04 (28)
- 06/20 - 06/27 (22)
- 06/13 - 06/20 (30)
- 06/06 - 06/13 (21)
- 05/30 - 06/06 (5)
- 05/16 - 05/23 (6)
- 05/09 - 05/16 (29)
- 05/02 - 05/09 (59)
- 04/25 - 05/02 (28)
- 04/18 - 04/25 (38)
- 04/11 - 04/18 (70)
- 04/04 - 04/11 (59)
- 03/28 - 04/04 (65)
- 03/21 - 03/28 (89)
- 03/14 - 03/21 (218)
- 03/07 - 03/14 (95)
- 02/28 - 03/07 (135)
- 02/21 - 02/28 (102)
- 01/03 - 01/10 (68)
-
2009
(1652)
- 12/27 - 01/03 (36)
- 12/20 - 12/27 (22)
- 12/13 - 12/20 (100)
- 12/06 - 12/13 (45)
- 11/29 - 12/06 (24)
- 11/22 - 11/29 (22)
- 11/15 - 11/22 (19)
- 11/08 - 11/15 (28)
- 11/01 - 11/08 (11)
- 10/25 - 11/01 (17)
- 10/18 - 10/25 (38)
- 10/11 - 10/18 (33)
- 10/04 - 10/11 (15)
- 09/27 - 10/04 (21)
- 09/20 - 09/27 (7)
- 09/13 - 09/20 (84)
-
09/06 - 09/13
(35)
- asuhan keperawatan CVA atau stroke
- ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL KRONIK
- cidera kepala
- GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
- ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ASMA
- Berhadapan dengan Perasaan Marah (Angry).
- TERAPI AKTIFITAS KELOMPOK
- SATUAN ACARA PENYULUHAN KEP.JIWA
- POST EDITOR BARU DI BLOGGER
- Mutu Pelayanan Kebidanan Kurangnya Akses Pelayanan...
- ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN BRONCHOPNEUMONI
- Materi Kesehatan: ASI Eksklusif
- Sertakan Ikan dalam Diet Makanan Anda
- Manajemen Asuhan Kebidanan Pada Bayi Ny ”M” Bayi B...
- Kurangnya Mutu Pelayanan Petugas Kesehatan Dalam M...
- Mutu Pelayanan Kesehatan di Puskesmas
- Promosi Kesehatan Pada Ibu Hamil
- Ejakulasi Dini (Premature Ejaculation), Apa, Penye...
- Health Benefits of Herbal Medicine
- PORTULAKA - bunga pukul delapan
- Shisha Tak Lebih Baik dari Rokok
- ASUHAN KEPERAWATAN TENTAMEN SUICIDE
- asuhan keperawatan STROKE
- Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus
- IHD (Ischaemic Heart Disease)
- Penyulit Kehamilan Ibu Hamil: Perut (gastroinstestin)
- KONSEP DASAR FRAKTUR
- DISFUNGSI UTERINE BLEEDING
- ASUHAN KEPERAWATAN TYPOID FEVER
- ASKEP SIROSIS HEPATIS
- ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN B P H
- Asuhan Keperawatan Pada Kliem Dengan Anemia
- Laporan Pendahuluan Abses
- asuhan keperawatan Gastritis
- Kenapa Bila Berpuasa Badan Loyo?
- 08/30 - 09/06 (48)
- 08/23 - 08/30 (118)
- 08/16 - 08/23 (26)
- 08/09 - 08/16 (34)
- 08/02 - 08/09 (35)
- 07/26 - 08/02 (31)
- 07/19 - 07/26 (14)
- 07/12 - 07/19 (16)
- 07/05 - 07/12 (28)
- 06/28 - 07/05 (26)
- 06/21 - 06/28 (76)
- 06/14 - 06/21 (26)
- 06/07 - 06/14 (21)
- 05/31 - 06/07 (43)
- 05/24 - 05/31 (38)
- 05/17 - 05/24 (26)
- 05/10 - 05/17 (52)
- 05/03 - 05/10 (15)
- 04/26 - 05/03 (38)
- 04/19 - 04/26 (32)
- 04/12 - 04/19 (22)
- 04/05 - 04/12 (20)
- 03/29 - 04/05 (40)
- 03/22 - 03/29 (43)
- 03/15 - 03/22 (18)
- 03/08 - 03/15 (14)
- 03/01 - 03/08 (22)
- 02/22 - 03/01 (12)
- 02/15 - 02/22 (9)
- 02/08 - 02/15 (11)
- 02/01 - 02/08 (19)
- 01/25 - 02/01 (37)
- 01/18 - 01/25 (21)
- 01/11 - 01/18 (33)
- 01/04 - 01/11 (31)
-
2008
(700)
- 12/28 - 01/04 (13)
- 12/21 - 12/28 (9)
- 12/14 - 12/21 (57)
- 12/07 - 12/14 (5)
- 11/30 - 12/07 (18)
- 11/23 - 11/30 (33)
- 11/16 - 11/23 (31)
- 11/09 - 11/16 (23)
- 11/02 - 11/09 (18)
- 10/26 - 11/02 (11)
- 10/19 - 10/26 (15)
- 10/12 - 10/19 (13)
- 10/05 - 10/12 (25)
- 09/28 - 10/05 (2)
- 09/21 - 09/28 (14)
- 09/14 - 09/21 (19)
- 09/07 - 09/14 (43)
- 08/31 - 09/07 (3)
- 08/24 - 08/31 (33)
- 08/17 - 08/24 (65)
- 08/10 - 08/17 (4)
- 08/03 - 08/10 (26)
- 07/27 - 08/03 (6)
- 07/20 - 07/27 (19)
- 07/13 - 07/20 (18)
- 07/06 - 07/13 (60)
- 06/29 - 07/06 (53)
- 06/22 - 06/29 (49)
- 06/15 - 06/22 (11)
- 06/08 - 06/15 (4)
Popular Posts
-
ASUHAN KEPERAWATAN IBU NIFAS DENGAN PERDARAHAN POST PARTUM A. PengertianPost partum / puerperium adalah masa dimana tubuh menyesuaikan, baik...
-
KTI KEBIDANAN HUBUNGAN USIA TERHADAP PERDARAHAN POSTPARTUM DI RSUD BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan wanita merupakan hal yang s...
-
Setelah beberapa minggu ini cari materi buat postingan baru, mendadak dapat inspirasi setelah rekan Anton Wijaya menulis di buku tamu Keper...
-
PATHWAY ASFIKSIA NEONATORUM Klik pada gambar untuk melihat pathway Download Pathway Asfiksia Neonatorum Via Ziddu Download Askep Asfiksia N...
-
DEFINISI Ikterus ialah suatu gejala yang perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh pada neonatus. Ikterus ialah suatu diskolorasi kuning pa...
-
Metode Kalender atau Pantang Berkala (Calendar Method Or Periodic Abstinence) Pendahuluan Metode kalender atau pantang berkala merupakan met...
-
Pathway Combustio Klik Pada Gambar Untuk melihat pathway Download Pathway Combustio Via Ziddu Tag: Pathways combustio , pathways luka baka...
-
Pathway Hematemesis Melena Klik pada gambar untuk melihat pathway Download Pathway Hematemesis Melena Via Ziddu
-
PROSES KEPERAWATAN KOMUNITAS Pengertian - Proses keperawatan adalah serangkaian perbuatan atau tindakan untuk menetapkan, merencana...
-
Metode Suhu Basal Tubuh (Basal Body Temperature Method) Suhu tubuh basal adalah suhu terendah yang dicapai oleh tubuh selama istirahat atau ...
© ASUHAN KEPERAWATAN 2013 . Powered by Bootstrap , Blogger templates and RWD Testing Tool Published..Gooyaabi Templates