RMOL. Dewan Perwakilan Rakyat dikecam. Sebab, para politisi telah menyetujui pengajuan penambahan anggaran Kementerian Kesehatan dalam RABPN Perubahan sebesar Rp 1,04 triliun. Artinya, anggaran Kemenkes 2010 mencapai Rp 22,4 triliun.
Kecaman antara lain disuarakan oleh Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Koordinator Advokasi dan Investigasi Fitra, Uchok Sky Khadafi, membeberkan, Kemenkes saat ini sudah mendapat alokasi anggaran cukup besar, yakni Rp 21,4 triliun. Ditambah dengan penambahan anggaran yang disetujui DPR, maka total yang dihabiskan kementerian pimpinan Endang Rahayu Sedyaningsih pada 2010 mencapai Rp 22,4 triliun atau naik sekitar 86 persen dibandingkan APBN 2009 Rp19,2 triliun. Sebuah angka yang cukup besar, melihat amburadulnya pelayanan kesehatan selama ini.
“Padahal, kalau mau diselidiki sebenarnya penambahaan alokasi anggaran Kemenkes ini bukan untuk kepentingan kesehatan rakyat miskin, tapi lebih mendongkrak naiknya anggaran birokras. KPK dan BPK harus terjun menginvetigasi,” kata Uchok kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, naiknya anggaran birokrasi, antara lain penambahaan anggaran Rp 700 miliar hanya untuk membayar tunjangan tenaga dokter, dokter gigi pegawai tidak tetap (PTT) 13.094, dokter gigi spesialis 86, dan bidan PTT 47.848.
Kemudian, alokasi anggaran Rp 300 miliar hanya untuk pengadaan buku, permebelan, bus sekolah, pengadaan alat bantu belajar-mengajar, rehabilitas gedung, dan pengadaan listrik, sumur/air dan sarana air limbah. Untuk kepentingan rakyat langsung hanya Rp 40 miliar, yakni berupa kegiatan pengembangan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) untuk puskemas di daerah.
Begitupun, kalau melihat anggaran kesehatan pada APBN 2010 yang telah disetujui DPR tahun lalu, telah dipagu pada kisaran Rp 21,4 triliun. Yang paling besar adalah untuk belanja pegawai, Rp 2,9 triliun, belanja barang dan jasa Rp 10 triliun, belanja modal Rp 2,1 triliun, dan belanja sosial Rp 6,8 triliun.
Kata dia, dengan penambahaan alokasi anggaran dalam APBN-P 2010, maka akan ada penambahaan alokasi anggaran. Pertama, alokasi anggaran belanja pegawai di Kemenkes bertambah Rp 700 miliar. Jadi, dengan adanya penambahaan anggaran ini berarti anggaran belanja pegawai akan menjadi Rp 3,7 triliun.
Selain itu, alokasi anggaran untuk belanja pegawai akan bertambah sekitar Rp 4,1 triliun, apabila anggaran yang lain untuk belanja barang dan jasa, termasuk pegawai, yaitu perjalanan dinas, perjalanan luar negeri, penyelenggaraan operasional dan pemeliharaan, dan administrasi kegiatan.
“Dengan demikian, alokasi anggaran untuk kepentingan birokrasi sebesar Rp 7,4 triliun atau 35 persen dari total alokasi anggaran tambahaan Rp 22, 4 triliun,” kata Uchok.
Menurut dia, alokasi anggaran untuk kepentingan belanja birokrasi terlalu mahal bila dibandingkan dengan program-program kegiatan yang prorakyat. Sebab, alokasi anggaran yang prorakyat hanya Rp 5 triliun, yang direncanakan untuk program pengadaan Bantuan Sosial Operasional Askeskin di kelas III Rp 4 triliun, dan bantuan bagi masyarakat miskin melalui Jamkesmas Rp 1 triliun.
“Jadi, anggaran kesehatan untuk orang miskin hanya 22 persen dari total anggaran sebesar Rp 22,4 triliun,” tamahnya.
Jadi, alokasi anggaran Rp 5 triliun kalau diberikan kepada 32,53 juta orang miskin (berdasarkan data BPS tahun 2009), maka setiap orang miskin akan menerima Rp 153.704 untuk setiap tahun, atau sebulan hanya Rp 12.809.
Itu jelas sangat kontrakdiktif bila dibandingkan dengan asuransi kesehatan anggota DPR. Seorang anggota DPR menerima asuransi kesehatan Rp 66.457.143 per tahunnya, dengan fasilitas VVIP atau Rp 5,5 juta per bulan. Total anggaran asuransi DPR adalah Rp 37,2 miliar.
“Alokasi anggaran untuk kesehatan orang miskin tidak pernah dipikirkan. Pemerintah selalu menutup mata dan lepas tangan. Pemerintah sepertinya menganggap orang miskin sebagai orang asing yang membebani keuangan negara saja,” katanya.
Melihat belanja operasional Menkes, hati pasti tercabik-cabik. Operasional Menkes dalam setahun bisa mencapai Rp 19 miliar (diluar gaji). Dan setiap bulan, bisa membelanjakan Rp 1,5 miliar, atau Rp. 52 juta per hari. (Lihat tabel Uraian dan Opersional Anggaran Belanja Menkes).
Pengadaan barang dan jasa pada Kemenkes tidak merinci apa yang akan dibeli atau diadakan oleh perusahaan, tetapi hanya secara umum dijelaskan bahwa Kemenkes akan mengadakan laboratorium.
Uchok menambahkan, alokasi anggaran pengadaan barang dan jasa Rp 959,2 miliar di 10 lembaga berpotensi di-mark up. “Ini juga dibuktikan ketika penegak hukum banyak membongkar kasus-kasus korupsi di Kemenkes.”
Ditanya mengenai hal yang sama, Direktur LBH Kesehatan Iskandar Sitorus menyatakan, kenaikan anggaran tidak berkolerasi lurus dengan peningkatan pelayanan publik mengenai kesehatan. Kenaikan APBN dan penambahan APBN-P hanya untuk mempercantik diri dan perluasan bangunan serta memperbanyak fasilitas. Selain itu, Kemenkes justru mempernbayak kunjungan-kunjungan yang tidak perlu.
“Wajar jika tuduhan miring tentang pemanfaatan anggaran yang tidak halal. Alasannya, daya serapnya bukan kepada publik,” katanya kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Kemenkes tidak mau menukar program Jamkesmas dengan sistem jaminan layanan kesehantan yang diamanatkan undang-undang. Padahal, menurut dia, kalau Kemenkes berani, setidaknya serapan angaran terhadap birokrasi akan terjawab. “Yang menjadi persoalan, birokrasi di bawah tidak mau diserap publik. Struktur di bawah Kemenkes ini yang perlu diperhatikan.”
Menurut dia, publik harus tahu, anggaran yang besar itu, pengalokasiannya kemana? Jangan hanya DPR dan pemerintah saja yang tahu, publik hanya dininabobokan anggaran kesehatan yang naik.
Sekalipun penggodokan anggarannya ada di DPR, hanya besarannya saja. Sedangkan untuk satuannya mereka tidak tahu ke mana larinya.
“Untuk itu, menjadi tanggung jawab BPK dan KPK untuk mengawasi anggaran dan mengauditnya,” katanya.
“Kerjanya Belum Beres”
Irgan Chairul Mahfiz, Wakil Ketua Komisi IX
Wakil Ketua Komisi IX Irgan Chairul Mahfiz, berpendapat, kinerja Kementerian Kesehatan belum menunjukkan performance yang membanggakan. Undang-Undang Kesehatan No 36/2009 mengamanatkan anggaran kesehatan sebesar lima persen dari APBN. “Namun, faktanya yang terealisasi baru 2,5 persen lebih dikit,” katanya kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Sah-sah saja anggaran Kemenkes dinaikkan mengingat banyaknya masyarakat di negeri ini yang membutuhkan pelayanan kesehatan dari pemerintah. Namun, harus dibarengai kinerja yang bagus dari Kemenkes terhadap pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia .
Menurut dia, komitmen peningkatan sarana-prasana masih sangat jauh terutama di daerah-daerah perbatasan dan pedalaman. Tidak hanya itu, di daerah perkotaan pun pelayanan kesehatan pemerintah ini tidak optimal. Terbukti banyak yang memilih berobat ke rumah swata, bahkan ke luar negeri. “Ini indikator yang mengindikasikan ke tidak maksimalan kinerja.”
Persoalan lain adalah menyangkut daya serap. Kemenkes kurang bisa berkoordinasi dengan derah. “Tenaga medis seperti dokter, bidan perawat dan fasilitas kesehatan di daerah sering menjadi kendala yang tidak bisa dipecahkan,” katanya.
Mengingat banyaknya item dan besarnya anggaran, dia meminta KPK dan BPK turun tangan mengaudit dana dan kinerja.
“Buat apa DPR perjuangkan kenaikan anggaran kalau implematasinya tidak bagus,” katanya.
“Kami Butuh Dukungan”
Bambang Sulistomo, Staf Khusus Menteri Kesehatan
Staf Khusus Menteri Kesehatan, Bambang Sulistomo, menyatakan, penambahan anggaran untuk Kementerian Kesehatan, terutama untuk mencukupi penyiapan atas kebutuhan tenaga kesehatan di daerah pendalaman, terpencil, yang selama ini menjadi kendala.
Selain itu, peningkatan anggaran itu, untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan dana operasional kesehatan di Puskesmas-Puskesmas.
“Kemenkes bersyukur atas peningkatan anggaran tersebut,” katanya kepada Rakyat Merdeka, lewat pesan singkatnya.
Untuk menjawab keraguan berbagai pihak, Kemenkes membuka diri dan mengharapkan pengawasan masyarakat, agar semua program pelayanan dan jaminan kesehatan kesehatan masyarakat semakin baik. “Kita butuh dukungan semua pihak,” katanya.
TNI Tidak Pernah Berniat Perang Dengan Malaysia
Karo Humas Kemenhan, Brigjen I Wayan Midhio Memberikan Klarifikasi
Karo Humas Kemenhan, Brigjen I Wayan Midhio menyatakan, TNI tidak pernah berniat untuk berperang dengan pasukan Malaysia. TNI justru terus menjalin kerja sama dengan Malaysia.
Hal ini disampaikan I Wayan untuk meluruskan berita di halaman ini, edisi Kamis, 19 Agustus 2010 yang berjudul “Prajurit Malaysia Selalu Over Acting”. Terutrama di paragraf pertama mengenai pernyataan “Mereka terus saja over acting. Jadinya terjadi perselisihan dilapangan”.
I Wayan meluruskan, perselisihan tersebut terjadi bukan karena prajurit Diraja Malaysia yang over acting. Tetapi disebabkan karena kesalahpahaman akibat belum disepakatiya batas-batas laut kedua negara.
Selanjunya, I Wayan juga meluruskan penjelasan pada paragraf ke-7 yang menyatakan “Tetapi jika Malaysia tidak mau membuat kesepakatan juga dengan pemerintah maka pada prinsipnya TNI AL sudah siap”.
Kata dia, paragraf itu seolah menggambarkan kalau TNI mau berperang. Padahal TNI tidak pernah berniat untuk berperang dengan pasukan Malaysia. TNI justru terus menjalin kerja sama dengan Malaysia. [RM]
sumber: http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=1759