Pernah terluka karena cinta, bukan alasan bagi Anda untuk tak mempercayainya lagi...
KapanLagi.com -
Oleh: Agatha Yunita
Terbangun dengan kepala berat usai tangis semalam membuatku tak ingin melakukan apapun hari itu. Segera kupungut ponsel yang tampaknya jatuh dari tempat tidur. Kutekan tombol nomor yang kuhafal di luar kepala. "Aku sakit, dan aku tak bisa masuk," kataku kepada sahabat sekaligus atasanku. Dia pun berkata, "Ok, aku mengerti. You need two days off, darling," katanya memutuskan. Ah... leganya hatiku, setidaknya aku masih dapat melanjutkan tidur tak lelapku.
Samar-samar kusadari, bahwa cermin yang kupukul hingga retak semalam masih jauh lebih beruntung ketimbang hatiku. Serpihan. Begitulah aku menerjemahkan perasaanku hari itu.
Baiklah, aku tak bisa kembali tidur dan menghisap kembali kesedihan di atas tempat tidurku itu. Kurapikan dan mengganti sprei dengan harapan pedihku dapat kubuang. Agak konyol memang, tetapi entah mengapa perasaanku selalu lebih baik setelah merapikannya. Beberapa menit kemudian, kusadari diriku berada di bawah guyuran shower air dingin. Diam beberapa saat, kemudian menghela nafas panjang. Aku tak bisa seperti ini terus. Semua sudah usai dalam semalam, ya... semalam. Dan aku harus segera move on, melanjutkan hidup seperti nasehat orang-orang terhadap makhluk yang patah hati sepertiku.
PING!!!
Kuraih ponselku dan sebuah nama yang kukenal menyapa. Dia bertanya, mengapa tak melihatku pagi ini. Tanpa menutupi apapun kuceritakan kejadian semalam padanya. Aku sudah biasa menceritakan beberapa hal pribadi tentangku padanya, demikian pula ia. Katakan saja memang beberapa waktu ini ia menjadi salah satu sahabat yang mendukungku. He is cute anyway! Astaga, apa yang sedang kupikirkan. Mendadak pedihku hilang dan diganti perasaan hangat dan nyaman. Segera kuakhiri perbincangan dengannya, aku tahu aku sedang rapuh dan bisa jadi aku melampiaskan kekecewaanku padanya. Dan, aku tak mau itu...
Sepotong cokelat...
Diam-diam sudah sebulan aku menyandang status single. Ternyata tak jauh berbeda juga rasanya. Nyatanya aku terlalu berlebihan menilai perasaanku yang kupikir tinggal serpihan itu. I am more than OK!
Sekotak cokelat disodorkan di mejaku. "Buatmu..." katanya. Ia kemudian duduk di atas mejaku dengan santai. "Hei, kamu nggak sopan!" hardikku. Ia pun tertawa renyah. Katanya ia suka saat melihatku marah, ia memang sangat suka menggodaku sampai aku berteriak atau mencubitnya. Dan begitulah, sebulan ini ia menemani hari-hariku. Sekedar berbincang tentang lagu atau isu di televisi. Namun, ada yang spesial. Cokelat!
Hari itu ia sedang membuka luka lama demi menghiburku. Diceritakannya bagaimana ia patah hati dan terluka karena seseorang yang pernah dicintainya. Hingga saat ini sebenarnya ia tak berani mengaku kalau sudah move on. Nyatanya, ia tak juga menyandang status in relationship dengan seseorang. Sudah 2 tahun lebih katanya. Wah, aku termasuk beruntung. Saat putus tak pernah lama menjomblo dan menunggu. Aku selalu mendapatkan seseorang yang baru setelah aku kecewa. Sayangnya, hingga saat ini hatiku belum menetap pada seseorang. Rasanya seperti setelah terluka, diobati, terluka lagi, dilempar, diobati, dan seterusnya...
Dalam perbincangan itu, ia bercerita banyak tentang cokelat, hmm... salah satu makanan kegemaranku. Kekasihnya yang dulu pandai membuat makanan, kalau tak salah mengingat, mantan kekasihnya memang sengaja mendalami bidang kuliner. Ia tahu benar bagaimana membuat praline cantik dengan isi yang unik. Yang membuat cokelat itu berbeda dengan cokelat lainnya. Bahkan, ia memadukan minuman beralkohol, yang aku tahu caranya tak semudah yang dibayangkan. Kami pun bercanda, bercerita, menikmati setiap potongan cokelat sembari menyisipkan cerita kebahagiaan dan pedihnya kami. Sejak hari itu, aku jadi lebih sering berbincang dengannya, eumm... kupikir lagi ternyata hampir 24 jam kami selalu berkomunikasi.
Sejak hari itu pula, kedekatan kami tak hanya sekedar bercerita tentang kisah patah hati. Kami saling mengobati, merawat, memperhatikan, dan mencintai...
Oya, hatiku saat ini telah berlabuh. Aku tak ingin berpindah ke lain hati lagi. Aku nyaman di sini dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Karena ia telah membuatku tetap percaya, bahwa cinta itu ada, di dalam kekecewaan maupun kebahagiaan. Jangan takut untuk mencintai... (wo/bee)